Sebagaimana TPU atau Turis Pada Umumnya,
Bali merupakan salah satu destinasi wisata di Indonesia yang merupakan favorit
saya. What’s not to like about Bali ?
Segala macam fasilitas dan kondisi untuk bersenang-senang ada di sana. Mau
melihat keramaian, banyak. Mau sesunyi pertapa juga ada. Alamnya bagus,
budayanya kuat, orangnya ramah-ramah, cafenya lucu-lucu. Tempat yang tak pernah
bikin pusing untuk urusan oleh-oleh. Daster, baju barong, sarung Bali, pia,
kacang asin nan klasik, tak pernah gagal
untuk menyenangkan hati orang-orang tersayang.
Dibandingkan dengan tempat lain
yang pernah saya kunjungi di Indonesia, interaksi saya dengan Bali terasa lebih
banyak. Pertama kali menginjakkan kaki di Bali di tahun 1995. Sudah kerja.
Sudah bisa membiayai sendiri kegiatan yang namanya : liburan. Sejak memegang
sertifikat sebagai penyelam di akhir tahun 2005, praktis hampir setiap tahun saya
ke Bali. Baik karena memang sengaja datang untuk secelup-dua celup penyelaman,
atau transit dalam perjalanan ke dan
dari bagian Indonesia yang lebih Timur lagi.
Dengan sedikit GR, saya mengklaim
diri sudah keliling P.Bali. Walaupun definisi saya tentang 'keliling' adalah
pergi ke ujung-ujungnya P. Bali dan mengunjungi DWPU alias Destinasi Wisata Pada
Umumnya di sana. Melihat lumba-lumba di Utara di Pantai Lovina, air terjun Gitgit di Singaraja, lalu ke Timur untuk
menyelam di Tulamben dan Amed yang sunyi,berjemur
di pantai Amed yang mirip Pantai Sengigi di Lombok, nyemplung lagi di gili-gili di Candi Dasa, makan sate lilit di Goa
Lawah. Trekking, ngopi-ngopi di tengah sawah, menikmati musium Antonio Blanco,
ikut Writers and Readers Festival di Ubud. Ke perkebunan kopi di kitaran Kintamani. Mencicipi
berbagai kopi secara gratis.
Menyebrang ke Nusa Penida,
menggigil kedinginan dan jackpot
dalam penyelaman berjudul : Menunggu Mola Yang Tiada Ada. Menjalani rute mainstream di Selatan Bali yang tak
pernah membosankan saya: GWK, beach hopping, nonton kecak di saat
matahari terbenam di Pura Uluwatu, ditutup dengan makan malam di Jimbaran. Membaca, ketiduran, berenang, membaca lagi di
Pantai Double Six. Dikecup secara bertubi-tubi oleh sinar matahari. Hotel hopping, mengunjungi hotel-hotel
termewah di sana, berlagak ingin melihat kamar untuk menginap, padahal kemudian
hanya foto-foto. Penyelaman di ujung Barat, di P. Menjangan.
Juga pengalaman tak terlupakan,
yang bagi saya surreal. Mendayung perahu di pagi sejuk di
Danau Tamblingan. Kedamaian sempurna. Menurut saya saat itu, Danau Tamblingan
yang sunyi dan dikelilingi bukit itu mirip sekali dengan danau di New Zealand atau
Kanada yang pernah saya lihat di kalender atau majalah-majalah. Yah, mungkin juga saya lebay, sih.
Bali selalu menimbulkan rasa
gembira, bahkan sejak saya keluar dari pesawat dan menghirup udara pertama di
pulau itu. Saya pernah berkata kepada seorang kawan, bahwa sepertinya Jakarta itu
bagi saya adalah tempat cari uang dan kalau ingin merasakan relaks dan gembira,
maka Bali adalah rumah saya. Dengan semakin seringnya saya ke sana, ada rasa
terbiasa, rasa kenal dan nyaman. Seperti pulang.
But somehow, it changed on my last visit to Bali.
Awal Oktober ini saya mengunjungi
Bali, setelah kunjungan sebelumnya di tahun 2012. Sudah dua tahun yang lalu. Oleh
karena itu, saya sangat mengantisipasi kunjungan kali ini. Menanti-nantikan
perasaan, ‘Horeeeee.....aku di Baliiii....’ saat menginjakkan kaki di bandara
Ngurah Rai.
Namun anehnya, perasaan itu tidak
muncul. Dan tidak pernah muncul selama 6 hari saya di sana. Biasa saja. Saya mencari-cari rasa kenal itu.
Rasa nyaman itu. Saat di Ubud, saat di Legian, juga di Jimbaran. Tak ketemu.
Saya merasa asing di tempat ini.
Tadinya saya pikir karena kunjungan terakhir saya ini adalah untuk menghadiri sebuah acara di mana pengunjungnya adalah 90 % orang asing. Tapi setelah saya pikir-pikir
lagi, sejak dulu pun Bali sudah penuh oleh orang asing. Tapi toh
dulu saya tetap merasa nyaman-nyaman saja.
Masih melalui Sunset Road yang
sama, makan di restoran yang sama, melihat patung-patung yang sama. Tapi entah mengapa, ia terasa berbeda.
Sebagai penggemar matahari dan
memiliki ketahanan lumayan besar terhadap sengit sinarnya, bahkan saya pun tak
tahan untuk berada di pantai saat itu. Terik udara yang saat itu saya alami sudah berada
dalam tahap tidak menyenangkan.
Bali menjadi terasa asing bagi
saya. Energinya tak lagi sama.
Mungkin karena semakin banyak
beton di sana. Mungkin karena semakin sulitnya saya melihat penduduk asli. Mungkin karena pertumbuhan hotel
yang konon kabarnya akan dihentikan dulu (moratorium) namun justru malah
semakin tak terkontrol (www.balipost.co.id,
14 Juli 2013). Penginapan, toko-toko, sudah merangsek sampai ke dalam area yang
dulunya adalah perumahan penduduk.
Bali yang saya saksikan kemarin
adalah sederetan hotel dan restoran. Terasa nuansa artifisial yang kental. Sudah menjelma menjadi sebuah kota yang
dipaksa.
Dan pertama kalinya sepanjang sejarah
hidup saya, saya merasa kehabisan akal untuk beraktivitas di Bali. Kunjungan
yang tadinya saya rencanakan selama 7 hari yang terdiri dari 4 hari ikut
festival dan 3 hari jadi turis, akhirnya saya persingkat menjadi 6 hari saja.
Tentu saja si turis ini akan kembali lagi. Namun, masa-masa di mana saya betah berada di sana sampai hampir 2 minggu, rasa-rasanya telah usai.
Ketika saya bercerita kepada partner
saya tentang kesan ini, ia menuliskan satu kalimat yang membuat saya termangu.
Bali semakin muda, sementara kamu semakin sunyi.
Saya rasa, ia benar....
Omahkebon, 24 Oktober 2014`
makasih info nya guys sangat berguna
ReplyDeleteJasa sadap handphone. berbagai fitur dan berbagai tipe HP.
Bisa untuk HP :
- IPHONE.
- ANDROID.
- NOKIA.
- BLACKBERRY.
- WINDOWS PHONE & MOBILE
- SYMBIAN (tidak tersedia)
(Sadap data komunikasi)
- SADAP PANGGILAN SUARA
- SADAP SMS & MMS
- SADAP FOTO/ VIDEO
- SADAP EMAIL
- SADAP SUARA SEKITAR
- SADAP CHAT FACEBOOK
- SADAP WHATSAPP, LINE, TELEGRAM, SKYPE
- SADAP BBM (BLACKBERRY MESSENGER) (tidak tersedia)
- SADAP LOKASI
Kunjungi: PENYADAP.COM
.
.
.
.
.
.
.