Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil



Minggu pertama bulan Juli. Empat belas hari dalam bulan Ramadan telah berlalu. Bulan yang saya yakini penuh dengan energi positif karena frekuensi lantunan doa menjadi lebih sering. Bulan di mana banyak manusia juga menjadi lebih  suka memberi. Bulan yang penuh berkah. 

Terlepas dari berbagai pahala dan ampunan  yang menyertainya, masa berpuasa adalah masa yang sangat baik untuk melatih kita menjadi manusia yang secara mental lebih sehat dan seimbang. Masa di mana kita dapat melakukan ‘rekonstruksi’ terhadap otak kita sendiri. 


Rekonstruksi otak ? Ya, riset telah membuktikan bahwa otak dapat berubah, bahkan sampai kita tua nanti.`Sifat ini dinamakan sebagai neuroplasticity. Perubahannya dapat terjadi akibat berbagai faktor. Perilaku, cedera otak, lingkungan, kebiasaan berpikir, emosi.  Dalam analogi yang sederhana, otak sama seperti otot. Ia akan menguat atau melemah tergantung dari caranya dilatih dan dipergunakan.



Struktur Otak 


Mari kita tengok pengklasifikasian dalam struktur otak yang dijelaskan dengan cara yang  paling sederhana yaitu Triune Brain, yang  dikemukakan oleh Dr. Paul McLean di tahun 1961.


Konsep Triune Brain ini membagi otak ke dalam tiga bagian : 


1. Otak reptil (batang otak). Otak reptil adalah bagian otak yang paling purba. Mengapa dinamakan sebagai otak reptil ? Karena bagian otak tersebut serupa dengan keseluruhan otak mahluk reptil (yes, we do have something in common with our reptilian fellas !). Tugasnya terkait dengan pertahanan hidup. Sebuah tugas yang telah diemban oleh mahluk hidup dari generasi ke generasi. Otak reptillah yang merupakan tempat bersemayamnya tombol-tombol yang mengatur, antara lain, pernapasan, cara menelan, detak jantung, penciuman. Ia menstimulasi rasa lapar, respon serang-atau-lari (fight or flight), dan juga hasrat seksual. Ia juga yang bertanggung-jawab atas timbulnya rasa takut, marah, agresi, cemburu.  Otak reptil mengatur insting-insting purba dan ia sering disebut sebagai ‘the lower brain’.  


2. Otak mamalia purba (sistem limbik). Sistem limbik adalah bagian otak yang berevolusi selanjutnya. Sistem ini mengatur emosi dan memori jangka pendek. Ia sangat terkait dengan bagian-bagian otak lainnya sehingga tidak dapat dipandang sebagai bagian yang terpisah. Ia juga merupakan bagian otak yang penting untuk proses belajar manusia, karena di sanalah informasi yang diterima dari panca indera dikumpulkan, diolah lalu disalurkan ke berbagai bagian lain dari otak. Rasa takut, marah, hasrat dihasilkan oleh otak reptil yang kemudian dimediasi oleh otak mamalia dan selanjutnya diputuskan oleh otak neocortex. 


3. Neocortex. Bagian yang volumenya kira-kira 80% dari keseluruhan volume otak ini adalah bagian yang terakhir berevolusi dalam otak manusia. Ia sering juga disebut sebagai ‘higher brain’. Ia adalah bagian otak yang mengurusi intelektualitas, pengambilan keputusan, kreativitas, intuisi. Satu hal yang sangat menarik tentang neocortex adalah ia juga merupakan pusat dari kesadaran-diri (self-awareness) serta kehendak bebas yang membuat kita dapat menjadi tuan atas otak kita sendiri. Oh, by the way, keren sekali bukan otak kita ini ? Ia adalah satu-satunya organ tubuh yang dapat memelajari dirinya sendiri dan juga dapat mengatur agar dirinya dapat menjadi tuan atas dirinya sendiri.



Puasa dan Keseimbangan Otak 


Membaca struktur otak di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masa berpuasa mengatur berbagai perilaku yang terkait dengan otak reptil. Kita diajak untuk mengendalikan nafsu makan, minum, seksual.  Kita diajar untuk mengelola emosi-emosi negatif seperti marah, iri, cemburu, ketakutan. 


Bisa jadi, hidup kita sehari-hari banyak dikuasai oleh mekanisme otak reptil. Hidup mengorbit di seputar urusan makan, minum, seks, nafsu menguasai. Diri dikendalikan oleh kemarahan demi kemarahan, kekuatiran demi kekuatiran. Hidup secara reaktif, diatur oleh insting bertahan atau menyerang semata. 


Jangan salah paham, bukan berarti otak reptil ini adalah ‘Mr Hyde’ atau monster dalam diri kita. Ia baik dan dibutuhkan, namun saat kita memanjakan respon-respon primitif ini, maka pusat pengambilan keputusan, pusat kesadaran (awareness), the higher brain kita akan melemah. Apabila selama ini kita hidup dari satu repetisi ke repetisi lain, dari satu reaksi ke reaksi lain, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam otak. Neocortex kita akan layu, digantikan oleh impuls2 otak primitif. 


Dengan berpuasa, kita dapat belajar untuk melepaskan diri dari jerat insting dan emosional. Beralih dari respon otak reptil yang serba reaktif ke dalam respon yang memperkuat penggunaan ‘otot-otot’ neocortex. Jika sebelumnya saat otak berteriak ‘Lapar !’ kita langsung mencari makanan terdekat atau terenak (respon reptil), selama bulan puasa kita mencari cara agar rasa lapar itu tidak berkuasa. Kita mencari hal lain untuk dilakukan (respon neocortex). 


Kita belajar untuk menyeimbangkan kekuatan otak kita.  



Puasa dan Kesadaran Diri 


Salah satu cara untuk memperkuat ‘otot-otot’ neocortex kita adalah dengan melatih tingkat kesadaran diri. Menjadi pelaku sekaligus pengamat dari perilaku, pikiran, emosi, respons yang ada dalam diri kita sendiri. 


Pada saat dalam diri menyeruak nafsu ingin makan, kesadaran dapat dilatih dengan berdiam sejenak dan bertanya : mengapa ya, saya ingin sekali makan ?  Apakah saya ingin makan karena tubuh saya memang membutuhkan atau karena saya sudah menjadikan makanan sebagai selimut kenyamanan ? Kita pun dapat mengamati rasa lapar itu dan berdamai dengannya. Pikiran (mind) kita dapat mengatakan pada otak (brain) : sabar ya, .... . nanti ada waktunya kita makan. 


Pada saat ada kondisi yang membuat kita ingin marah dan punch someone in the face, alih-alih meledak secara reaktif, kita dapat menarik napas, mengambil jarak dari reaksi marah, mengamati apa yang terjadi di dalam kepala kita, menyadari bahwa ‘saya marah’ dan menggali ‘dari mana ya, sumber kemarahan tersebut ?’ 


Saat buka puasa, kita dapat melatih diri untuk makan dengan penuh kesadaran. Menikmati setiap suap makanan.  Rasanya, baunya. Menyadari respon tubuh kita terhadap makanan dan berhenti saat tubuh telah mengatakan ‘aku kenyang.’ Demikian pula saat melakukan ibadah. Kita dapat menjadi pengamat dari apa yang berlangsung dalam pikiran kita selama ibadah. Menyadari setiap gerakan yang dilakukan, merasakan suasana, bahkan mengamati pikiran kita yang melayang-layang saat mendengarkan khotbah.  Hanya menyadari dan mengamati. Tanpa perlu menilai. 


Dengan cara melatih kesadaran ini, kita melatih diri kita untuk selalu ‘hadir’ dalam setiap momen kehidupan kita. Mengubah cara memroses berbagai hal yang tadinya dilakukan oleh bagian otak reptil yang juga mengontrol ritual dan rutinitas, menjadi pemrosesan oleh otak sadar. 

Membuatnya menjadi lebih terasa dan bermakna.



Perjalanan Membentuk Habit


Para ahli mengatakan bahwa 21 hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk membentuk kebiasaan (habit) baru.  Masa berpuasa selama 30 hari merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk melatih cara-cara berpikir yang baru. Membangunkan kembali syaraf-syaraf di dalam neocortex kita. Menciptakan jalur-jalur baru di kepala. Mengganti respon yang selama ini sudah kita pakai dengan respon-respon baru. Memperkuat fungsi otak. 


Namun, jika masa puasa dipergunakan untuk semata-mata memikirkan ‘nanti malam mau balas dendam makan’, maka kita hanya sekadar menunda si reptil untuk kembali menguasai diri. Tak ada manfaat yang didapat dalam aspek perkembangan otak kita.


Bulan Ramadan masih akan bersama dengan kita 14 hari lagi. Pertanyaannya adalah, akankah puasa ini serupa benih yang ditanam di tanah yang subur dan berbuah kelak, atau semata jejak di pasir pantai yang segera lenyap saat buih bernama ‘Hari Raya’ datang menyapu. 


Selamat menjalani masa berpuasa dengan sadar. Selamat berlatih untuk kembali ke fitrah sebagai manusia berakal-budi.


Omahkebon, 2 Juli 2015, 02.58


Comments

Popular posts from this blog

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Menyoal Pertimbangan Moral - 1