Mencari Tuhan di RRC


Beberapa waktu lalu saya menonton tayangan Oprah. Topiknya sebenarnya agak basi, namun namun karena disajikan dari sudut pandang yang berbeda, maka beritanya pun menjadi tetap menarik. Ia berbicara tentang ritual dan standar kecantikan wanita di berbagai belahan dunia ini (btw, Indonesia termasuk negara yang diliput karena praktek pemakaian stagen setelah melahirkan). Yang menarik perhatian saya adalah berita bahwa di Mauritania, wanita yang dikatakan cantik dan menggairahkan adalah wanita yang memiliki tubuh gemuk, banyak selulit dan sering bercerai. Seru, kan? Rasanya saya langsung jatuh cinta pada Mauritania ! Lebih seru lagi, jika para wanita diharapkan bertubuh gemuk, maka pria harus kurus, karena pria bertubuh gemuk dianggap membawa sial. 

Standar keindahan di satu budaya merupakan mimpi buruk bagi budaya lain... 

Orang Beragama = Aneh 

Tayangan ini mengingatkan saya tentang satu pengalaman menarik yang saya dapatkan dari perjalanan saya ke RRC bertahun-tahun lalu. Bukan tentang kecantikan, tapi tentang perbedaan sudut pandang. Berhubung saya adalah mahluk relijiyes maka secara khusus topik yang menarik perhatian saya adalah perbedaan sudut pandang tentang keberadaan Tuhan. 

Di setiap kota yang kami kunjungi di sana, kami dipimpin oleh pemandu lokal yang berbeda. Pemandu ini akan bercerita tentang sejarah daerah yang kami kunjungi, bangunan, mata pencaharian penduduk atau legenda-legenda yang berkaitan dengan daerah tersebut. Menurut informasi pemandu kami di Beijing, sebagian besar masyarakat di RRC saat ini menganut kepercayaan tradisional dan juga banyak yang atheist. Sejak dari kanak-kanak, mereka sudah diajarkan bahwa yang mengatur segala sesuatunya di negeri itu adalah pemerintah. Aturan yang berlaku adalah aturan pemerintah. Kesetiaan hanya diberikan untuk pemerintah. Dengan kata lain, The Supreme Being, sosok yang memegang otoritas penuh adalah pemerintah. Tidak ada dosa, yang ada adalah pelanggaran hukum. Tidak ada nasib, yang ada hanyalah orang yang tidak bekerja cukup keras untuk mencapai apa yang diinginkan. 

Lain lagi cerita dari Alai, seorang pemandu wisata di daerah Guilin. Dia berkata, bahwa bagi orang Indonesia, yang mayoritas penduduknya menganut agama, mungkin aneh melihat orang tidak punya agama, apalagi tidak percaya Tuhan. Tapi di sana, justru mereka merasa aneh melihat orang beragama dengan segala macam ritualnya. Ia pun bercerita bahwa anak gadisnya saat ini sedang menjalin hubungan serius dengan seorang pria. Namun, Alai dan istrinya masih belum sreg. Bukan karena pria ini tidak baik, atau tidak punya penghasilan yang mencukupi, namun karena pria ini adalah seorang penganut agama. Dan bagi mereka, penganut agama adalah orang aneh. 

Saat  berkunjung ke salah satu kuil Buddha yang terkenal di daerah Hangzhou, saya melihat ada banyak juga orang yang melakukan penyembahan dengan membakar dan menyalakan hio. Saya bertanya, untuk apa mereka berdoa, jika mereka atheist. Pemandu kami di Hangzhou, seorang wanita cantik bernama Ling-Ling mengatakan bahwa kadang mereka pun meminta juga pada Buddha, atau pada dewa-dewi  yang dianggap bisa membantu. Praktek ini merupakan warisan kepercayaan, tapi itu pun tidak lantas menjadi ritual. Saya menyimpulkan, kegiatan sembahyang kepada dewa-dewi itu dianggap semacam tindakan yang ‘kalau berhasil syukur, tidak juga tak apa-apa, toh tidak ada ruginya dilakukan...’

Dua kali saya bertanya kepada dua orang pemandu yang berbeda, tentang bagaimana mengajarkan penciptaan kepada anak-anak, jika mereka tidak percaya Tuhan. Kedua pemandu itu tidak memberi jawaban yang memuaskan. Yang satu mengatakan tidak diajarkan, sementara yang lain mengatakan, ada cerita dari agama Buddha, namun itu pun tidak terlalu ditekankan. Berbagai pertanyaan pun dilontarkan oleh banyak anggota rombongan. Ada yang bertanya apakah mereka tidak pernah berdoa, atau apa yang mereka lakukan jika stres, ke mana mereka meminta tolong?

Orang Ber-Tuhan Pun Bingung

Saya mengamati pertanyaan-pertanyaan tersebut, termasuk pertanyaan saya sendiri, dan akhirnya merasa geli sendiri. Saya terkekeh-kekeh dalam hati saat menyadari bahwa semua pertanyaan dan kebingungan yang terlontar itu bermuara dari pola pikir yang berbeda. Semua anggota rombongan perjalanan ini adalah orang-orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Ini sudah menjadi semacam asumsi dasar, menjadi kacamata yang dipakai untuk melihat dunia. Tuhan ada, Tuhan berkuasa, dan Tuhan menolong. Oleh karena itu, gamang lah kami semua ketika ‘asumsi’ dasar itu harus dicabut. Mungkin sama bingungnya dengan Oprah ketika mendengar bahwa di Mauritania tidak ada orang diet, dan semua makanan di sana manis dan berlemak. 

Dan, standar kebenaran di satu budaya menjadi keanehan di budaya lain... 

Saat saya mencoba memakai kacamata yang berbeda itu, saya pun berpikir bahwa mungkin para tour guide pun bingung mendengar pertanyaan-pertanyaan kami. Penciptaan? Untuk apa dibicarakan, memang semuanya sudah ada dari sananya. Kalau stres? Ke psikiater, kumpul bersama kawan atau main kartu karena di sana orang gemar bermain kartu. Bagi orang yang tidak memakai kacamata bahwa Tuhan itu ada, maka ada cara-cara lain yang mereka gunakan. Kehidupan setelah mati? You kidding or what? Orang mati ya mati. Habis cerita. Hidup hanya sekali. Tidak ada surga tidak ada neraka, tidak ada Tuhan juga tidak ada setan (kata Ling-Ling, orang Indonesia lah yang percaya pada hantu, maka hantu-hantu di Chung Kuo pindah ke Indonesia...).  

Saya merasa ini adalah hal yang lucu sekali, walaupun saya juga tak tahu di mana letak kelucuannya. Saya benar-benar melihat perbedaan yang nyata dari dua kacamata yang berbeda. Kalau selama ini saya dikelilingi oleh orang yang mengatakan bahwa ‘Tuhan itu satu, cara menuju ke sananya saja yang berbeda-beda,’ maka saat itu saya berada di tengah masyarakat yang berkata ‘Tidak ada Tuhan, maka percuma saja kalau mencari-cari jalan ke sana.’ Dua sudut pandang ekstrim. 

Menyadari Kacamata Sendiri

Saat mendengar mereka bercerita tentang apa yang mereka percayai, terbersit dalam hati saya bahwa brainwash partai komunis ternyata berhasil sekali. Meresap sampai ke urat nadi terhalus mereka. Namun, sedetik kemudian, saya berpikir, terlepas dari iman dan pencarian yang saya lakukan, saya pun adalah produk brainwash agama yang berhasil. Sejak masih bocah telah diajarkan untuk berdoa sebelum makan dan tidur. Sampai dewasa tak pernah terpikir oleh saya bahwa Tuhan itu tidak ada. Sama saja dengan kawan-kawan di RRC. Sejak kecil sampai dewasa tak pernah terpikir di benak mereka akan sosok bernama Tuhan. 

Seorang bapak anggota rombongan kami mengasihani masyarakat di sana, yang tidak punya pegangan hidup dan tidak tahu akan ke mana nanti setelah mati. Saya berkata, mungkin mereka yang kasihan pada orang-orang yang tidak boleh makan makanan tertentu karena alasan keagamaan. Mungkin mereka iba melihat orang yang sibuk mengurusi kehidupan setelah mati, padahal hidup hanya sekali, dan pada akhirnya manusia akan menjadi bagian dari rantai makanan saja dengan memberi diri menjadi santapan lezat bagi para cacing. 

Mungkin mereka pun akan mengernyitkan dahi membaca bagaimana di grup WA saya dan kawan-kawan, seorang kawan menjelaskan tentang spirit, Tuhan, tubuh fisik, tubuh roh. Betapa rumitnya semua pembicaraan tentang sosok yang tidak pernah terlihat itu. 

Salahkah mereka? Salahkah saya? Tidak penting. Who are we to judge? Seperti kutipan yang mengatakan ‘beauty is in the eye of the beholder, ’ maka keyakinan pun tidak pernah salah bagi orang yang memegangnya. Lewat pengalaman ini, saya kembali diingatkan bahwa, indeed, sebelum memutuskan apakah sesuatu salah atau benar, lebih baik kita berusaha memahami dulu kacamata apa yang dipakai orang lain.

Dan terutama, kita perlu menyadari kacamata apa yang kita sendiri pakai, agar dapat lebih peka terhadap setiap bias dan kabut dalam pandangan kita.



Omahkebon, 18 Juli 2015

(Originally written on 18 July 2009)


Comments

Popular posts from this blog

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Menyoal Pertimbangan Moral - 1