Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2


Perkenankan saya melanjutkan kembali racauan saya, untuk meluruhkan kembali otak yang telanjur pejal akibat kesal. 

Pada tulisan sebelumnya saya sudah membagikan sebuah teori perkembangan favorit saya yaitu Teori Perkembangan Psikososial dari Erik Erikson. Anda dapat sejenak mengamat-amati gambar di bawah ini untuk kembali menyegarkan ingatan. 




Seperti telah saya tuliskan di akhir tulisan bagian 1, di bagian ke-2 ini saya ingin mengungkapkan pendapat saya tentang kelakuan masyarakat Indonesia yang rodo aneh ini dengan memakai teropong teori Erikson. Saya tidak berpretensi untuk menunjukkan diri sebagai orang yang paham sejarah (boro-boro deh!). Tulisan ini pun tidak diniatkan untuk menjadi tulisah ilmiah whatsoever. Tulisan ini hanya  usaha saya untuk sedikit saja mengurai benang kusut di kepala  yang terlalu sibuk bertanya ‘mengapa’. Sebelum saya telanjur menyerah dan ikut serta pada wahana kegilaan (sebagian) masyarakat ini. 

Mari kita mulai.

Jika melihat seorang anak, remaja atau bahkan orang dewasa yang perilakunya aneh, kita seringkali mengatakan bahwa mungkin ada sesuatu yang ‘salah’ di masa lalunya, termasuk pola asuhnya. Berdasarkan teori Erikson hal ini memang amat mungkin terjadi.

Saya akan memberi ilustrasi yang amat sederhana. Katakanlah ada seorang remaja yang menarik diri dari lingkungannya dan pada saat yang sama bersikap sangat agresif.  Bisa jadi, perilaku ini bermula dari  apa yang terjadi saat ia masih bayi. Orang tuanya tidak responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan mendasar bayinya. Mungkin mereka masih sibuk dengan dirinya sendiri. Menurut teori Erikson, anak ini akan tumbuh dengan rasa tidak percaya terhadap lingkungannya dan juga tidak percaya pada dirinya sendiri. Ia tidak berhasil menyelesaikan  konflik pertama yaitu trust-mistrust yang justru merupakan konflik mendasar yang akan sangat memengaruhi perkembangan psikologisnya.

Semakin bertambah usianya, ketidakpercayaan ini  menyebabkan ia tumbuh menjadi anak yang ragu dalam melakukan berbagai eksplorasi. Ia jadi takut untuk bertemu dengan orang lain, takut untuk melakukan apa pun. Hal ini kemudian membuat ia juga tak mampu mengembangkan potensinya. Sense of competence-nya menjadi lemah. Ia akan tumbuh menjadi remaja yang tidak memiliki rasa percaya dan membawa lebih banyak kualitas ragu, malu, inferior, merasa tidak berguna. Kebingungan identitas terjadi. Ekspresinya bisa dalam bentuk menarik diri atau malah menjadi bersikap agresif karena menganggap dunia ini tidak ramah padanya. Jika kualitas positifnya tidak diperkuat, maka kelemahan karakter ini akan terbawa sampai ke masa dewasa berlanjut sampai ia tua. Ia pun bisa-bisa mati dalam keputusasaan (ok, bagian ini agak didramatisir)


Kini, mari kita tengok negara ini. Jika proklamasi kemerdekaan kita ambil sebagai hari kelahiran de jure-nya, maka usia negara Republik Indonesia kita tahun ini mencapai 72 tahun. Dari segi usia, negara ini dapat disebut sebagai negara remaja, atau mungkin dewasa muda. Coba kita bandingkan dengan negara-negara terdekat, ‘teman-teman sepermainan’ nya. Malaysia tahun ini berusia 60 tahun. Singapore 52 tahun.  Di luar kenyataan bahwa Malaysia hobi mengklaim budaya Indonesia, perlu diakui bahwa dalam berbagai aspek, kedua negara ini memang lebih maju dari negara kita. Ekonomi, pendidikan, teknologi, kesehatan, perilaku bermasyarakat. Kerusuhan atau kisruh politik, tentu saja ada. Tapi, tidak berlarut-larut seperti di Indonesia yang masih berputar-putar di masalah yang itu-itu saja. 

Mengapa seperti itu ya? Coba kita teropong dengan menggunakan ilustrasi remaja seperti yang saya pergunakan di atas.

Kalau dipikir-pikir, sungguh mengenaskan nasib bangsa kita. Sebelum merdeka, dapat dikatakan negara ini diasuh oleh majikan.  Ratusan tahun  si nusantara dijajah, diperah, diperas dan ditindas. Ratusan tahun! Sampai akhirnya masyarakat yang memiliki lebih dari seribu suku, adat istiadat dan budaya  ini  memiliki benang merah dalam bersikap: sikap budak. Diam saja saat diperlakukan tidak adil, hanya menunggu perintah, selalu merasa inferior pada  yang lebih berkuasa. Tapi, Singapore dan Malaysia juga dijajah. Mengapa mereka lebih maju ? Beda orang tua, atau tepatnya, beda majikan. Beda perlakuan.

Sebagaimana halnya anak yang tidak pernah tercukupi kebutuhannya maka sebagai bangsa terjajah karakter mistrust atau tidak percaya lah yang lebih banyak berkembang. Dalam kualitas mistrust yang masih lebih kental dibandingkan dengan kualitas trust ini pun kita merdeka. Negara Republik Indonesia lahir sebagai negara yang (ceritanya) mandiri. Kita memiliki orang tua baru: Soekarno-Hatta. Soekarno yang visioner dan Hatta yang sederhana namun rajin bekerja ini berusaha keras membentuk, merangkai negara ini menjadi satu tubuh. Ibarat Dr. Cornelia Wilbur yang berusaha menyatukan 16 kepribadian Sybil menjadi satu individu baru yang terintegrasi. Berhasil ? Belum seutuhnya.

Lalu, terjadilah. Selama 32 tahun kita memiliki orang tua Soeharto dengan berbagai wakil-wakilnya serta satu paket sistem pemerintahannya.  Sesungguhnya, jika dilihat dari sudut psikologi perkembangan, apa yang dilakukan oleh Soeharto sudah sesuai dengan konsep perkembangan. Sama seperti seorang bayi yang membangun rasa percaya lewat respon orang tua terhadap kebutuhan dasarnya, masyarakat perlu dibangun dulu rasa percaya pada pemerintahnya lewat ketercukupan makanan, minuman, rasa aman. Usaha-usaha yang dilakukan beliau untuk swasembada pangan, fokus pada pertanian, membentuk Repelita dan GBHN, sudah teramat benar.

Sayangnya, pada jaman beliau, negara ini ibarat anak yang dibesarkan oleh orang tua yang manipulatif. Terlihat berwibawa, kompeten, penyedia segala sesuatu. Tapi diam-diam seluruh anggota keluarga tahu bahwa ia adalah orang tua yang pilih kasih, tidak jujur, otoriter, lebih memikirkan kepentingannya sendiri. Pemerataan ekonomi menjadi sulit tercipta karena nilai-nilai kejujuran dan keadilan tidak dipegang teguh oleh orang tua bangsa ini. Rasa percaya itu kembali gagal tercipta. Dan masyarakat, sama seperti anak, akan bingung jika melihat orang tua yang tidak konsisten dengan nilai-nilai yang juga tidak jelas. Ditambah dengan ‘gen’ sikap budak yang diwariskan oleh generasi jaman penjajahan, maka terciptalah masyarakat yang diam. Masyarakat yang terlihat tenang namun sesungguhnya menyimpan kemarahan sebagai magma.

Penjajahan ratusan tahun yang menyebabkan bangsa ini sulit percaya pada penguasa, plus sejarah pemerintahan yang juga opresif, menyebabkan sebagai bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang gagal menyelesaikan konflik trust-mistrust. Sulit percaya pada lingkungan, sulit percaya pada diri sendiri. Dengan kualitas psikologi seperti ini, kita pun terseok-seok maju ke tahap perkembangan berikutnya, berusaha menyelesaikan konflik autonomy vs shame and doubt, initiative vs guilt, industry vs inferiority,  identity vs identity diffusion. Dan dalam setiap tahap perkembangan bangsa ini, kita belum memiliki orang tua yang bisa sungguh-sungguh memberikan stimulasi yang berbeda, pengalaman yang berbeda.

Tengoklah, kita selalu menjadi bangsa yang bingung. Wakil-wakil rakyatnya pun bingung. Rasa tidak percaya pada lingkungan yang kondusif untuk hidup dan tumbuh telah membuat masyarakat ini menjadi masyarakat yang suka mencari selamat sendiri. Suka mencari aman sendiri. Korupsi menjadi salah satu caranya. Tidak ada urusannya dengan landasan agama, keimanan dan kepercayaan. Hukum seolah menjadi impoten. Tentu saja, karena sepanjang sejarahnya, tidak pernah ada aturan yang konsisten yang diterapkan oleh para orang tua a.k.a pemerintah kita. Para penegak hukum pun akhirnya tidak percaya pada diri sendiri dan lingkungannya. Mereka pun mencari aman sendiri.

Ya, kita adalah negara yang sudah meremaja. Namun sesungguhnya, kita belum siap menjadi remaja. Kita masih berkutat di masalah trust-mistrust, kualitas psikologi mendasar yang menjadi landasan perkembangan kualitas psikologi yang tangguh.  Dicolek sedikit marah, memiliki idola-idola yang salah, bisa bersikap sangat ekstrim terhadap golongan yang dianggap lain atau di luar kita (outsider), terlalu sibuk dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang dirinya, memang merupakan pergulatan masa remaja. Bayangkan seorang remaja yang harus mengalami pergulatan seperti itu tanpa membawa kualitas rasa percaya, kemandirian, inisiatif dan rasa kompetensi. Apa tidak jadi remaja yang ‘sakit’ dia? Nah, itulah negara ini. Remaja yang sakit. Gagal menyelesaikan konflik krisis identitas di masa ini, maka masyarakat Indonesia akan  kembali terseok-seok dalam perjalanannya ke tahap menjadi negara yang dewasa. Atau malah ia tidak akan pernah menjadi dewasa.

Jadi apa poin dari tulisan ini? Blame it on the history! Kidding :)  Saya hanya ingin menawarkan sebuah perspektif. Perspektif mikro yang dipakai untuk meneropong makro. Mau dibilang dipaksakan juga tak apa. Paling tidak, ini bisa menghindarkan saya dari sikap terheran-heran terhadap perilaku masyarakat. Bawaan sejarah dan pola asuh orang tua alias pemimpin yang tidak tepat, telah menyebabkan perilaku masyarakat Indonesia menjadi apa adanya seperti saat ini.

Dan implikasinya terhadap kehidupan kita? Saya yakin teman-teman juga sudah sering mendengar bahwa manusia tidak sekadar produk dari kondisi. Kita memang mewarisi ‘gen’ budak, produk feodalisme yang terjajah dan tertindas, baik oleh bangsa lain maupun pemimpin sendiri. Tapi kita tidak lantas harus menjadi korban gen, toh.

Sadari saja sejarah kita. Sadari potensi 'sakit' yang mungkin sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi kemudian pilih untuk menjadi masyarakat Indonesia seperti yang kita inginkan, yang kita omongkan. Kita sulit untuk menumbuhkan rasa percaya pada negara? Paling tidak, kita bisa meyakinkan diri sendiri bahwa kita adalah individu yang bisa dipercaya dan memiliki integritas. Paling tidak, di dalam konteks keluarga, kita bisa menciptakan iklim percaya yang membuat anak-anak kita tumbuh dengan rasa yakin pada lingkungan dan dirinya sendiri. Memberikannya kebebasan yang cukup dan pada saat yang sama aturan yang jelas.

Mengajarkan nilai-nilai luhur yang dipegang oleh orang tua dan tetuanya.

Agar kelak mereka bisa menjadi anggota masyarakat yang kokoh. Mampu terbang di dunia yang tak terbatas ini tanpa pernah kehilangan ingatan akan sarangnya.

Dan tidak menciptakan generasi sakit yang berikutnya... 




Magelang, 28 Februari, 2017
(Dengan segenap rasa cinta pada Indonesia)





Comments

Popular posts from this blog

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Menyoal Pertimbangan Moral - 1