Menyoal Pertimbangan Moral - 1

“Karena mama bilang begitu…Kalau terlambat lagi nanti dihukum papa, lho… Jangan, nanti masuk neraka…”

Seberapa sering kalimat-kalimat di atas menjadi respon saat anak-anak kita bertanya tentang alasan dibalik keputusan tentang ‘ini salah dan itu benar’ ?

Bisa jadi, sering. Dalam banyak situasi, jawaban tersebut memang efektif untuk menghindarkan anak dari perbuatan yang kita kategorikan sebagai perbuatan yang salah. Terlebih lagi, jawaban di atas adalah jawaban yang mudah. Jawaban yang menutup diskusi berkepanjangan serta memaparkan konsekuensi dengan jelas dan tegas. Kamu tidak boleh mencuri karena nanti masuk neraka. Titik ! Singkat, padat, jelas. 


Namun, apakah efektivitas itu hanya dipandang dari sudut output perilaku saja ? Bagaimana dengan tanggung jawab orang tua untuk juga melatih proses berpikir anak agar ia dapat berpikir mandiri dan mampu mengambil keputusan terbaik saat berada dalam berbagai situasi yang terkait dengan konflik moral ? Melatihnya untuk berpikir kritis. 

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak para orang tua, baik orang tua yang memiliki putra-putri maupun orang yang memang sudah tua dari segi usia, untuk melihat kembali bahwa ada berbagai pijakan yang dapat kita pergunakan saat mendidik anak-anak untuk mempertimbangkan apakah suatu tindakan itu benar atau salah. Dan anak-anak itu sesungguhnya siap untuk memiliki kemampuan mempertimbangkan yang lentur, jika ia mendapatkan stimulasi yang benar. 

Walaupun moral memiliki tiga komponen yang saling terkait yaitu emosi, kognitif dan perilaku, tulisan ini menyoroti satu aspek saja yaitu aspek kognitif dari moral. Tulisan ini dibagi ke dalam 2 bagian. Bagian pertama mengetengahkan konsep tentang perkembangan penalaran moral yang digagas oleh Lawrence Kohlberg dan berikutnya berisi aspek praktis dari penerapan konsep ini untuk mengembangkan proses berpikir anak terkait dengan konflik moral. 


Anak, Sang Filsuf Moral


Anak adalah filsuf moral. Demikian ungkap Kohlberg, seorang ahli perkembangan penalaran moral.

Untuk lebih menghayati kalimat ini, coba kita bayang-bayangkan seperti apa perilaku seorang filsuf. Mereka berpikir-pikir, mereka mengkonstruksi pengetahuannya. Di atas segalanya, mereka bertanya. Bertanya kepada diri sendiri, bertanya kepada orang lain, sampai menemukan apa yang mereka anggap sebagai akar dari suatu persoalan yang kemudian mereka pakai untuk membangun pemahaman baru lagi. 

Mungkin di dunia ini tidak ada yang dapat menyamai ketahanan seorang filsuf dalam mempertanyakan segala sesuatu, kecuali anak-anak. Terlebih, sejalan dengan perkembangan usia, secara biologis otak seorang anak pun berkembang. Kepalanya siap untuk mengolah informasi dengan cara yang lebih kompleks dibandingkan dengan saat ia berusia lebih kecil. Ibaratnya, secara ‘hardware’ kapasitas otaknya sudah dapat menjalankan program-program yang lebih rumit. Ditambah interaksinya dengan lingkungan, anak terus menerus memperbaharui pemahamannya tentang dunia dan berbagai perilaku yang ia lihat terjadi di sekelilingnya. Inilah sebabnya, seorang anak senang sekali bertanya ‘kenapa’. Otaknya haus untuk membangun jalur-jalur informasi baru.

Perkembangan kognitif anak ini akan mempengaruhi proses penalaran moralnya. Lewat interaksi dengan lingkungan, anak pun akan terus mengkonstruksi pemahamannya tentang moral. Perlu ditegaskan bahwa penalaran moral berarti alasan di balik keputusan tentang apakah suatu perilaku dikategorikan sebagai salah atau benar. Dua orang anak mungkin saja memiliki keputusan yang berbeda tentang suatu perilaku. Yang satu mengganggap perilaku tertentu salah dan yang lain mengatakan benar, dan mereka berada dalam level penalaran moral yang sama.


Tahap Perkembangan Penalaran Moral


Silakan Anda meng-google dengan kata kunci perkembangan penalaran moral, maka sudah pasti artikel yang keluar di halaman depan pencarian Anda terkait dengan nama tokoh Lawrence Kohlberg. Teori Kohlberg tentang proses perkembangan penalaran moral merupakan teori yang paling berpengaruh selama kurang lebih 4 dasawarsa terakhir.

Kohlberg mengembangkan teori perkembangan penalaran moral berdasarkan teori perkembangan kognitif yang lebih dahulu digagas oleh tokoh bernama Piaget. Menurut Kohlberg, sejalan dengan perkembangan kognitifnya, individu melalui tiga level perkembangan moral yaitu tahap prekonvensional, konvensional dan postkonvensional. Tiap level ini kemudian dibagi lagi ke dalam 6 tahap perkembangan yang lebih spesifik.




Level 1 : Prekonvensional

Konvensi diartikan sebagai aturan, kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Pada tahap prekonvensional ini moralitas dikontrol secara eksternal. Individu belum menunjukkan internalisasi dari nilai-nilai moral. Mereka menerima aturan dari figur yang dianggap berkuasa dan tindakan dinilai berdasarkan konsekuensinya dan bukan intensinya. ‘Baik’ atau ‘buruk’ dipandang dari sudut perasaan subyektif masing-masing individu. Aspek ego sangat mendominasi di dalam level ini.

Tahap 1 : Orientasi ketaatan dan hukuman (obedience and punishment orientation)

Pada tahap ini, individu berasumsi bahwa peraturan secara mutlak harus ditaati karena diciptakan oleh sosok otoritas. Mereka tidak mempedulikan intensi individu dan berfokus pada figur yang mempunyai otoritas. Penghindaran hukuman juga merupakan alasan untuk bertingkah laku secara moral. Baik buruknya tindakan dipandang dari dampaknya terhadap akibat fisik dari tindakan tersebut.

Contoh pertimbangan : Tindakan  Anto mengambil makanan dari warung tanpa membayar merupakan tindakan yang salah karena jika ketahuan ia bisa dihukum.

Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental (instrumental purpose orientation)

Individu tidak lagi menganggap peraturan sebagai sesuatu yang absolut. Ia memandang tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat memenuhi kebutuhan mereka atau yang memberikan keuntungan pribadi dan mereka percaya bahwa orang lain juga bertindak untuk kepentingannya sendiri. Tindakan timbal balik dipandang sebagai tindakan pertukaran kebaikan. Kamu lakukan ini untuk saya dan saya akan melakukannya juga untukmu.

Contoh pertimbangan : Tindakan Anto mengambil makanan dari warung tanpa membayar merupakan tindakan yang benar karena dia lapar dan tidak punya uang.

Level 2 : Konvensional

Istilah konvensional berarti taat terhadap dan menjunjung peraturan, ekspektasi dan konvensi dalam masyarakat. Ego tidak lagi menjadi satu-satunya aspek yang berpengaruh dalam tahap ini.  Individu digerakkan oleh standar tertentu, namun standar tersebut adalah standar orang lain. Ia tetap menganggap ketaatan terhadap peraturan sosial sebagai suatu hal yang penting, namun bukan disebabkan oleh kepentingan pribadi. Orientasinya kini sudah beralih dari kepentingan diri sendiri menjadi keikutsertaan untuk menjaga hubungan dan keteraturan sosial yang positif.

Tahap 3 : Orientasi ‘Anak baik’ atau norma interpersonal (Good boy-good girl or interpersonal norm)

Pada tahap ini, individu menganggap penting untuk hidup sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain dalam kapasitas individu sebagai anak,teman, dsb. Kebaikan dipandang dari sudut motif dan perasaan. Intensi atau niat mulai mendapatkan tempat dalam pertimbangan di tahap ini.  Individu yang berada pada tahap 3 ingin memelihara afeksi dan persetujuan dari teman dan kerabat dengan berusaha menjadi ‘orang baik’ – bisa dipercaya, setia, dihormati dan penolong. Individu pun sudah menyadari adanya perasaan, persetujuan dan ekspektasi bersama yang berada di atas kepentingan pribadi mereka. ‘Apa kata dunia’ menjadi penting dalam tahap ini.

Contoh pertimbangan :  Tindakan Anto mengambil makanan dari warung tanpa membayar itu merupakan tindakan yang salah karena nanti semua orang akan menganggap Anto sebagai pencuri.

Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban (Social-order-maintaining orientation)

Pada tahap ini, individu mempertimbangkan perspektif yang lebih luas yaitu hukum sosial. Penalaran moral didasarkan pada pemahaman mengenai aturan sosial, hukum, keadilan dan kewajiban. Pilihan-pilihan tindakan moral bukan lagi bergantung pada ikatan yang kuat dengan orang lain namun pada anggapan bahwa peraturan harus ditegakkan oleh setiap orang dan setiap anggota masyarakat mempunyai kewajiban sosial untuk menegakkan hukum. Individu berusaha untuk menjaga agar institusi berjalan sebagai suatu kesatuan untuk mencegah kegagalan sistem yang akan terjadi jika setiap orang melakukan hal yang salah.

Contoh pertimbangan : Tindakan Anto mengambil makanan dari warung tanpa membayar itu merupakan tindakan yang salah karena seseorang tidak boleh merasa berhak untuk melanggar aturan karena ia lapar dan tidak punya uang.


Level Postkonvensional

Individu dalam level ini telah melakukan internalisasi yang utuh terhadap moralitas dan tidak tergantung pada standar orang lain. Mereka memahami dan menerima aturan masyarakat, namun penerimaan terhadap aturan masyarakat didasarkan pada penerimaan terhadap prinsip-prinsip moral yang melandasi aturan sosial ini. Prinsip-prinsip ini terkadang berkonflik dengan aturan, dengan konvensi yang berlaku di masyarakat. Individu yang berada pada level postkonvensional akan lebih mempertimbangkan prinsip moral dibandingkan aturan yang bersifat konvensional.

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial (Social-contract orientation)

Pada tahap 5, individu memahami bahwa nilai dan hukum bersifat relatif. Standar setiap orang pun dapat berbeda-beda. Individu menyadari bahwa peraturan dan hukum merupakan alat yang fleksibel untuk membantu manusia mencapai tujuannya dan agar manusia dapat hidup dalam kerukunan. Setiap orang memiliki kontrak sosial dengan lingkungan sekitarnya untuk menjaga tatanan masyarakat. Apabila hukum dipandang konsisten dengan hak-hak individual dan kepentingan mayoritas penduduk maka tiap orang harus menaatinya karena adanya kontrak sosial ini. Jika sistem itu tidak dianggap membawa kebaikan bagi masyarakat maka hukum dapat diinterpretasikan kembali dan diubah melalui prosedur yang adil dan demokratis.

Contoh pertimbangan : Jika memahami kondisi Anto saat itu, pemilik warung dan teman-teman Anto lainnya pasti bisa memaklumi tindakannya mengambil makanan tanpa membayar.

Tahap 6 : Orientasi etika universal

Pada tahap tertinggi ini, tindakan yang benar didefinisikan oleh prinsip-prinsip kesadaran yang dipilih sendiri oleh individu. Prinsip ini dianggap valid untuk kemanusiaan,terlepas dari hukum dan persetujuan sosial. Individu yang berada pada tahap 6 tetap mengakui pentingnya keteraturan sosial, namun mereka juga menyadari bahwa tidak semua keteraturan sosial dapat memenuhi prinsip-prinsip yang lebih penting yang bersifat universal. Prinsip etika yang universal ini sulit untuk diformulasikan dan hanya sedikit saja orang yang dapat mencapai pemikiran moral pada tahap ini. Penemuan prinsip universal telah menjadi tujuan dari pemimpin moral, agama dan filsuf-filsuf besar.


Contoh pertimbangan : Tindakan Anto mengambil makanan di warung tanpa membayar itu tidak benar karena ia telah membiarkan dirinya menjadi orang yang tidak jujur. 




Nah, dengan pemahaman terhadap teori penalaran moral di atas, tentu kini kita sudah dapat mengira-ngira apa implikasi dari jawaban 'karena mama bilang begitu!' atas setiap pertanyaan anak tentang alasan 'baik-buruk'. 

Kita akan bersama-sama membahas aspek praktis dari konsep perkembangan penalaran moral ini dalam tulisan berikutnya, ya. Mari bersama-sama belajar berbagai sudut pandang karena saya sendiri percaya bahwa jika Tuhan hanya ingin kita melihat dari 1 sudut pandang saja, Ia tidak akan menaruh 100 milyar sel dalam otak kita. 

Matur nuwun. 




Omahkebon, 22 Juli 2017 



Comments

Popular posts from this blog

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil