Negara Ababil, Negara Krisis Identitas - 1
Negara ini, semakin aneh saja. Saya duga, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, kadang Anda pun mengeluhkan atau bahkan mengumpati keanehan negara ini. Semua unsur ipoleksosbudhankam, penuh paradoks. Tempat judi dan prostitusi dilindungi, rumah ibadah digocoh-gocoh. Yang jujur dimusuhi, penipu disanjung. Gemah ripah loh jinawi, bahan pangan impor melulu. Di tempat yang tanahnya mengandung emas dan tembaga berlimpah, masyarakatnya miskin mutlak
Kategori benar salah menjadi semakin abu-abu. Karena koruptor tidak mendapatkan hukuman yang setimpal atau bahkan kadang bebas karena mampu membeli hukum, maka mencuri kelapa, sandal, ayam menjadi tindakan yang seolah benar. Bahkan mendapat simpati.
Belum lagi keanehan-keanehan dalam berbagai aspek gaya hidup dan budaya populer. Musim di Indonesia ini hanya dua, tapi tema sale di pusat perbelanjaan bisa ada fall, summer, winter, autumn. Ikut-ikutan membuat pesta haloween tanpa paham konteks budaya di balik per-haloween-an. Tontonan Indonesia namun cerita, kostum, dandanan, ala Korea dan membuat kepala saya cenat cenut menontonnya.
Nilai yang tidak jelas, perilaku penuh paradoks, budaya sekadar ikut-ikutan tren, salah tapi merasa benar, reaktif dan cepat marah. Semua keanehan di negara ini mengingatkan saya pada perilaku ababil alias abege labil.
Tentu saja ada berbagai sudut pandang yang dapat menjelaskan perilaku kolektif masyarakat Indonesia yang mirip ababil ini. Sosiologi, antropologi, bahkan mungkin penerawangan spiritual dan, siapa tahu, kosmologi. Dalam tulisan ini, saya ingin bercerita tentang salah satu teori psikologi favorit saya yaitu teori perkembangan psikososial yang digagas oleh Erik Erikson. Erikson memang berbicara tentang perkembangan individu. Namun, setelah saya simak-simak, teorinya bisa juga dipakai sebagai kacamata dalam memandang perilaku bangsa ini.
Jadi, ijinkan saya di hari Minggu yang cerah ini berbagi tentang perkembangan psikososial. Karena agak panjang, maka saya akan membagi tulisan ini menjadi 2 bagian. Bagian pertama bicara tentang teori perkembangan psikososial Erikson. Bagian kedua tentang kaitan antara teori ini dengan negara ababil.
Let’s start with Erik Erikson!
Erik Erikson adalah seorang psikolog Jerman yang bicara tentang ego identity. Apa ego identity atau identitas ego itu? Identitas ego adalah kesadaran tentang diri yang terbentuk lewat interaksi dengan lingkungan sosialnya. Itulah sebabnya teori ini disebut dengan teori psikososial.
Erikson mengatakan bahwa manusia berkembang melalui 8 tahap. Dalam setiap tahap perkembangan terdapat konflik yang merupakan penentu dari perkembangan kualitas psikologis individu. Konflik menjadi elemen yang amat penting dalam teori ini karena ‘sehat atau tidak’nya perkembangan seseorang akan ditentukan oleh bagaimana ia menyelesaikan setiap konflik di dalam tahap perkembangan tersebut. Jika ia mampu melewati konflik tersebut dengan baik, maka dalam dirinya akan tercipta ‘sense of mastery’ dan potensi perkembangannya akan menjadi amat luas. Sebaliknya, jika konflik tidak terselesaikan dengan baik, maka ia akan tumbuh dengan kualitas psikologi yang tidak kuat, yang artinya tidak seimbang. Hasil dari perkembangan di tahap yang satu akan menjadi dasar bagi perkembangannya di tahap selanjutnya. Dengan kata lain, setiap tahap menjadi ‘building block’ bagi tahap berikutnya.
Apa saja kedelapan tahap tersebut? Mari saya ceritakan tentang tahap-tahap tersebut. Sambil membaca, asik juga jika kita pun mengevaluasi dan mengingat-ingat kembali berbagai fase dalam kehidupan kita atau anak-anak kita.
Tahap 1: Trust vs Mistrust (Kekuatan Utama: Harapan)
Rentang usia: lahir – 18 bulan.
Apa aspek psikologis pertama yang perlu dimiliki saat bayi hadir ke dunia ini? Rasa aman! Dia perlu yakin bahwa dunia ini adalah tempat yang aman baginya untuk bertumbuh. Saat kebutuhannya terhadap makanan, minuman, sentuhan, respon positif dari orang tua terpenuhi, maka rasa percayanya terhadap lingkungan, terhadap manusia lain dan juga terhadap dirinya sendiri mulai muncul (trust). Ia mulai mengembangkan harapan. Jika rasa aman ini gagal dipenuhi, maka anak akan tumbuh dengan membawa kecemasan, ketakutan dan tidak percaya diri (mistrust).
Tahap 2: Autonomy vs Shame and Doubt (Kekuatan Utama: Kemauan)
Rentang usia : 18 bulan - 3 tahun
Setiap orang tua pasti melewati masa ‘the terrible 2’ ini. Saat anak disebut sedang ‘nakal-nakal’nya. Lari sana lari ke sini. Mulai berani keras kepala. Saat usia anak menjelang 2 sampai 3 tahun ini, aspek ‘will’ atau kemauannya mulai tumbuh. Jika orang tua memberi kebebasan bereksplorasi, dan pada saat yang sama menerapkan aturan yang jelas dan konsisten, maka aspek kemandirian anak akan tumbuh (autonomy). Sebaliknya, anak yang terlalu dibatasi geraknya, akan tumbuh dengan rasa malu dan ragu (shame and doubt) yang lebih besar daripada aspek kemandiriannya.
Tahap 3: Initiative vs Guilt (Kekuatan Utama: Tujuan)
Rentang usia: 3-5 tahun
Fase pra-sekolah. Di sini anak mengembangkan identitas ego-nya melalui bermain dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas lagi. Ia mulai belajar untuk berinisiatif menciptakan permainan, seperti permainan ‘pura-pura jadi…’. Ia belajar memimpin atau dipimpin, belajar sikap kooperatif. Dukungan orang tua terhadap inisiatif dan eksplorasi anak yang lebih dalam lagi ini akan mengembangkan inisiatifnya. Sebaliknya jika ia sering disalahkan atas inisiatif atau dampak dari eksplorasinya, seperti barang yang rusak, kecelakaan kecil, maka aspek rasa bersalah (guilt) yang lebih besar lah yang akan ia bawa ke perkembangan berikutnya.
-
Tahap 4 : Industry vs Inferiority (Kekuatan Utama: Kompetensi)
Rentang usia : 6-12 tahun
Ini adalah masa usia sekolah. Masa di mana anak mulai diajarkan berbagai keterampilan dan pengetahuan yang akan digunakan dalam tahap perkembangan berikutnya. Di dalam dunia budaya yang tidak mengenal pendidikan formal, dalam rentang usia ini pun anak sudah diajarkan berbagai keterampilan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti berburu. Pada masa ini, jika anak berhasil menguasai pelajaran atau keterampilan yang diajarkan, maka akan timbul rasa kompeten. Ia mulai merasa berguna. Sebaliknya, jika pada fase ini anak terus menerus gagal untuk menguasai berbagai keterampilan (nilainya jelek terus, tidak pernah merasa bisa mengikuti eskul apa pun) maka rasa inferior yang lebih besar lah yang akan ia bawa ke dalam tahap perkembangan berikutnya. Merasa kompeten, berguna, penting sekali untuk ia bawa ke tahap perkembangan sampai usia dewasa nanti. Nah, sekolah adalah tempat anak untuk bisa menguasai kualitas ini. Tapi, nampaknya guru dan orang tua sering lupa akan hal ini, sehingga…aaahhh…sudah..tak perlu dibahas dulu, supaya tidak ada topik di dalam topik.
-
Tahap 5 : Identity vs. Identity diffusion (Kekuatan Utama: Kesetiaan)
Rentang usia 12-18 tahun
Dalam teori Erikson, dalam fase remaja ini lah identitas individu mulai terbentuk. Berbagai kualitas psikologi yang terbangun lewat tahap-tahap perkembangan sebelumnya pada akhirnya membentuk sebuah identitas ‘Siapakah aku’ atau ‘Seperti apakah aku.’ Kepingan-kepingan puzzle itu semakin membentuk gambar yang jelas. Remaja membangun ideologi, nilai dan idealismenya sendiri sendiri. Itulah sebabnya, mereka sering dikatakan memiliki dunianya sendiri. Aspek kesetiaan terhadap ideologi, teman, nilai, idola menjadi penting dalam tahap ini. Remaja pun semakin peduli pada bagaimana ia dilihat oleh orang lain. Mereka berjuang untuk diterima dan dimengerti, dan pada saat yang sama berjuang untuk menjadi individu yang memiliki identitas sendiri. Kegagalan menyelesaikan konflik identity vs identity diffusion pada tahap ini akan menghasilkan remaja yang terlalu kaku, tidak mau melihat dan mempertimbangkan pendapat lingkungan tentang dirinya, atau justru remaja yang bingung atas identitasnya. Tidak punya jati diri. Ia akan tumbuh menjadi ‘dewabil’ alias dewasa labil.
-
Tahap 6 : Intimacy vs Isolation (Kekuatan Utama: Cinta)
Rentang usia 18-40 tahun
Dalam tahap ini, individu yang sudah melewati masa pencarian identitas memasuki tahap di mana ia harus meleburkan identitas itu dengan identitas orang lain. Dalam hal ini, pasangannya. Individu mengembangkan kualitas psikologinya lewat jalinan koneksi baik secara fisik maupun emosi, memberikan dukungan, kasih sayang, rasa nyaman dengan orang lain di luar anggota keluarganya semula. Mereka siap untuk menjadi orang tua. Keseimbangan yang tercipta dalam tahap ini akan menghasilkan individu yang mampu mencintai dan berbagi namun pada saat yang bersamaan bisa tetap mempertahankan identitasnya sendiri. Menghindari keintiman dan komitmen dalam tahap ini akan membuat individu merasa terisolasi, kesepian dan bahkan terkadang menderita depresi.
Tahap 7 : Generativity vs. Stagnation (Kekuatan Utama: Kepedulian)
Rentang usia: 35 atau 40- 55 atau 65
Pada usia ini, perkembangan kualitas psikologi individu terbentuk lewat kontribusi terhadap lingkungan melaui perannya dalam dunia pekerjaan, sebagai orang tua, maupun kegiatan dalam lingkungan sosial. Hasil positif dari krisis dalam fase ini tergantung dari kemampuan individu untuk berkontribusi secara positif. Dalam fase ini, individu juga banyak yang mulai mencari makna baru dalam hidup pekerjaannya maupun pernikahan (nampaknya, hal ini juga menjelaskan mengapa banyak terjadi pencarian akan pasangan baru juga…). Jika gagal dalam mengembangkan kualitas’generativity’ atau 'menghasilkan' ini, maka pada masa usia dewasa menengah individu akan menjadi stagnan dan tidak produktif. Ia menjadi terlalu fokus pada diri sendiri, memanjakan diri, rakus, tidak peduli pada generasi yang mendatang maupun dunia yang lebih luas.
-
Tahap 8 : Integrity vs Despair (Kekuatan Utama: Kebijaksanaan)
Rentang usia: di atas 55 – meninggal
Akhir dari tahap perkembangan kualitas psikologi individu. Pada usia tua ini, individu banyak menoleh ke belakang dan mengevaluasi kehidupannya. Jika individu merasa bahwa ia sudah menjalani kehidupan yang baik, berkontribusi terhadap dunianya, maka dirinya akan mengalami rasa terintegrasi, merasa damai dengan dirinya sendiri dan dunianya. Ia menjadi orang tua yang bijaksana. Sebaliknya, jika dalam fase ini individu banyak membawa banyak rasa bersalah, menyesal, maka ia akan menjadi tidak puas terhadap hidupnya (despair). Hal ini dapat membuatnya menjadi depresi dan merasa tidak berdaya.
Demikianlah kedelapan tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson. Menarik, bukan? Selain bisa menengok ke belakang untuk melihat sejarah perkembangan diri sendiri, kita juga bisa menilai posisi kita saat ini, serta melihat jalur perkembangan kita ke depan.
Lalu apa kaitannya dengan perkembangan bangsa? Saya akan paparkan pada tulisan selanjutnya.
Cheers!
Comments
Post a Comment