9 Juli 2014

Saya ingat... 

Pagi-pagi sudah memantengi media sosial untuk melihat update status dan foto-foto mainstream di hari itu. Foto kelingking yang sudah diungukan. Foto di depan TPS. Foto teman yang sekeluarga janjian menggunakan baju kotak-kotak ke TPS. Foto ngopi-ngopi cantik di berbagai gerai yang menyediakan minuman gratis atau berdiskon.

Saya juga ingat...

Menjelang jam 11, mengenakan baju putih, pergi ke TPS yang mulai sepi. Hanya 5 menit menunggu, langsung diarahkan untuk masuk ke bilik yang sudah jauh lebih baik dibanding bilik kekecilan pada Pemilu 5 tahun lalu. Berdoa sejenak, lalu memilih dengan mantap. Ber-selfie bersama kakak saya 

Merasakan kemeriahan penghitungan suara di TPS 29, kelurahan Tanah Tinggi. Petugas yang membuka kertas suara dan membaca , “Nomer satu !  Bapak Prabowo Subianto.... Nomer dua ! Bapak Joko Widodo....” dan kemudian dikorting menjadi, “Nomer satu ! Bapak Prabowo !.... Nomer dua ! Bapak Jokowi ! “ Protes warga menjelang kertas ke 200 yang merasa penggunaan kata ‘Bapak’ membuat proses membaca menjadi lebih lama. Pembacaan kertas suara yang mengerucut menjadi,  “Satu, Prabowo ! ....Dua, Jokowi !” Tawa dari sekitar 30 orang penonton penghitungan suara saat petugas berkata, “Yaaaaa.... bukannya ditusuk yang bener, malah mukanya pak Prabowo digambarin hati. Tidak sah ! ”


Menggerutu saat petugas mulai tidak konsen dan salah-salah membaca. Nampaknya karena kepanasan dan sedang puasa.  Sentakan kecil dari petugas pencatat, “Lu yang bener dong bacanya, gw kan jadi keder...  !” Petugas  pembaca baru yang awalnya malah grogi dan sempat salah-salah jugaNamun, tidak ada kesan curiga atau kemarahan dari warga. Ringan saja.


Melihat kelakukan kakak saya. Warga negara yang baik dan berbudi luhur, yang berkontribusi terhadap ketepatan penghitungan suara di siang nan terik itu.  Caranya ? Mengipasi para saksi dengan koran yang dibawanya. AC alias angin cepoi-cepoi dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. 


Menyaksikan kekecewaan di wajah pendukung Prabowo saat Jokowi dinyatakan menang di TPS 29.  Kekecewaan yang kemudian ditutupi dengan cara yang sangat mahir dilakukan oleh orang Indonesia. Melontarkan humor.

Tertawa melihat si mbak penjual gorengan dan ibu-ibu pembelinya joget-joget kesenangan.

Menonton quick count di televisi. Tangan tak lepas dari gadget untuk berkomunikasi dengan group WA yang berisikan para sahabat. Membahas tiap pergerakan suara.  Menikmati rasa deg-degan setiap perolehan suara susul-menyusul. Memaki komentar dungu yang dipamerkan di layar televisi. 

Saya masih ingat.... 

Menuju ke Tugu Proklamasi saat Jokowi dinyatakan menang berdasarkan quick count. Melihat secara langsung untuk pertama kalinya  Presiden terpilih Republik Indonesia. Berkaca-kaca menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri. Menuju Pacific Place untuk ngerumpi bersama para sahabat. 

Ya, saya masih ingat detil-detil di tanggal itu. Apa yang saya alami. Apa yang saya rasakan.

Saya ingat betul... 

Di belahan Republik Indonesia tempat saya menjejakkan kaki saat itu, tidak ada keributan. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada panas emosi serupa ketel air mendidih. 

Di tempat saya bisa merasakan sengat matahari dan batuk-batuk karena debu, dunia justru terasa lebih sejuk. Lebih damai. Lebih sederhana.

Tak seperti jagat sumuk yang tampil pada layar 21 inci di kamar saya yang dingin. Atau pada si 7 inci di genggaman saya




Tebet, 20 Oktober, 2014 

Comments

Popular posts from this blog

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Menyoal Pertimbangan Moral - 1