Ayo, Ngomong Dong !
Tanggal 20 Oktober 2014, atas
nama ‘menjadi bagian dari saksi sejarah’, saya dan beberapa kawan turut serta
memeriahkan hiruk pikuk pesta rakyat saat Presiden baru, Joko Widodo dilantik. Bersama dengan, konon, 30 ribu manusia, sejak
sore jam 5 saya sudah menanti untuk melihat presiden teranyar ini di lapangan
Monas.
Berhubung perayaan ini akan
dimeriahkan oleh pergelaran musik, maka kehadiran para remaja tanggung pun tak
terhindarkan. Sebagian dari mereka tampil dengan gaya yang se-alay-alaynya.
Rambut pirang yang sama sekali tak cocok untuk kulit hangus mereka, celana
jeans sobek-sobek selutut. Mereka membawa bendera bergambar logo group band
kesayangan.
Bendera itu dikibar-kibarkan dan menghalangi pemandangan pengunjung lain ke arah panggung. Sempat para pengunjung menyuarakan : “Benderanya....
hooooiii..... benderaaaa...!” MC acara juga berulang kali meminta pengunjung
yang membawa bendera untuk tidak mengibar-ngibarkannya. Tiang bendera pun sempat
diturunkan.
Beberapa anak alay lewat di
samping saya, membawa bendera. Sebagai bagian dari masyarakat yang berhak atas
pandangan yang tidak tertutup ke arah panggung, saya mengatakan kepada
anak-anak tersebut, “Mas, benderanya jangan dinaikkan, mas.” Demikian juga saat
ada yang lewat di dekat saya sambil mengebul-ngebulkan rokok, saya teriaki, “Heyyyy...rokoknya
!” Saya tidak keberatan dengan orang merokok, seperti saya tidak keberatan
dengan orang yang memilih untuk makan kambing setiap hari. Tapi saya keberatan
jika di tengah sesak manusia, udara yang panas, kesumukan itu harus ditambah
lagi dengan aroma asap.
Namun, dengan agak tidak ikhlas saya mengatakan,
bahwa orang Indonesia, paling tidak orang Indonesia yang ada di Monas saat itu,
memang sulit diatur. Bendera-bendera di depan panggung kembali lagi berkibaran.
Asap-asap masih saya lihat terhembus di depan sana, tanda masih ada orang yang
gobloknya gak ketulungan (maafkan bahasa saya, ya) sedang
merokok di tengah kerumuman orang, yang sebagian juga terdiri dari anak-anak.
Tidak semua acara saat itu saya
ikuti. Sebagian saya saksikan lewat televisi. Dan sungguh, acara menonton TV
ini malah membuat saya mangkel. Bukan karena acaranya. Tapi karena, lagi-lagi,
urusan bendera ini masih saja mengganggu. MC sudah berkoar berkali-kali, tidak
dituruti. Sudah menawarkan, meminta dengan sopan, agar jika memang ingin
mengibarkan bendera, tolong dilakukan di pinggir saja. Tetap cuek. Saya bisa melihat Indra Bekti sebagai
MC sudah hampir emosi juga.
Yang membuat saya mangkel dan
kemrungsung melihat kejadian tersebut terutama adalah pertanyaan yang muncul di
hati saya : Itu orang yang ada di sebelahnya si pengibar bendera, apa tidak
ikut menegur ? Ratusan orang yang ada di sekelilingnya, juga diam saja ? Di
depan televisi, saya jadi seperti orang gila. Ngomel-ngomel sendiri tak keruan
karena bagi saya situasi tersebut absurd sekali. Seksi ketertibannya memang mandul. Namun
lebih dari itu, ribuan orang tidak bisa ikut menekan remaja-remaja tanggung agar
mengikuti permintaan MC ? Ribuan orang bisa kalah dengan sekelompok anak tengil
ini ? Ah, yang benar saja ! Absurd !
Pembiaran. Itu lah yang sering
terjadi di negara ini. Atas nama daripada ribut atau bukan urusan saya,
seringkali masyarakat membiarkan saja ketidaktertiban berlangsung di
hadapannya. Tidak menegur saat ada yang menyalip antrian, diam saja saat HP
orang di sebelahnya masih berbunyi saat menonton pertunjukan, memilih mengalah
dan berdiri di ruang tunggu bandara alih-alih meminta dengan sopan agar pemilik
segembolan tas yang diletakkan di atas bangku, memindahkan tasnya. Menerima
dengan pasrah tanpa bertanya saat uang kembalian diganti dengan permen.
Menutup mulut saat ada yang
mengibar-ngibarkan bendera dan mengganggu pandangan orang lain.
Saya membayangkan, jika seorang
pesohor menulis status tentang tidak tertibnya manusia pengibar bendera itu,
akan ada ratusan atau bahkan ribuan komentar, memaki, bahkan melakukan analisis
dari sudut ipoleksusbudhankam. Namun saat berhadapan langsung dengan kondisi
tersebut, mungkin mereka pun adalah orang-orang yang mengunci diri. Diam.
Saya sendiri bukan orang yang
konsisten untuk bisa mengutarakan pendapat secara asertif saat melihat ada
ketidaktertiban. Kadang bisa dengan manis dan tersenyum menegur seorang Bapak
yang merokok di sebelah bayi. Kadang melakukan tindakan ekstrim seperti berdiri diam mendadak di
depan motor yang masih melaju, saat lampu lalu lintas menunjukkan tanda hijau
bagi penyeberang jalan. Namun terkadang pun saya diam saja.
Namun saat diam saja, selalu saja
ada kesadaran bahwa saya sedang menyia-nyiakan kesempatan untuk memperluas ‘circle
of influence’ atau lingkaran pengaruh saya. Menjadi sama dengan masyarakat yang
hobinya bicara politik lah, menteri lah, kemajuan bangsa lah, kemerosotan moral
lah, tapi emoh untuk ikut serta
berkontribusi terhadap perbaikan Indonesia yang kesempatannya hadir di depan
mata.
Oleh karena itu, di hari Sumpah
Pemuda ini, saya menuliskan uneg-uneg ini. Berharap bahwa ada 1 atau 2 orang yang
membacanya mau membawa nilai tambah bagi kemajuan nusa dan bangsa lewat tindakan sederhana: bicara.
Karena seringkali, diam bukanlah
emas.
Diam adalah penyakit.
Selamat hari Sumpah Pemuda ! Ayo,
ngomong dong !
28 Oktober, KA Lodaya jurusan Yogya-Bandung.
Comments
Post a Comment