Sekeping Layanan Prima di Malioboro



Malam hari, pukul 8.50. Di Mirota Batik, Malioboro Yogyakarta, 10 menit menjelang waktu tutupnya. Peringatan untuk segera menyelesaikan transaksi sudah berulangkali terdengar. Saya datang ke kasir, membawa kantung belanjaan yang sarat dengan pernak-pernik khas Yogya. Puluhan pensil berkepala wayang, tempelan kulkas berbagai bentuk, pembatas buku, dll., dst. Souvenir yang akan saya jadikan sebagai properti pelatihan esok harinya di Magelang.

Setelah dikalkulasi,  dengan nada sedikit sungkan karena ini sudah menjelang waktu tutup, saya bertanya apa masih bisa meminta agar semua label harga dicopot. Mbak yang bertugas di bagian pembungkusan, dengan cepat mengatakan, “Ooooh..... bisa !” Tidak ada perubahan sedikit pun pada raut wajahnya.  Tidak ada gerakan melirik jam, tidak ada cemberut. Biasa saja. Saya pun tersenyum lebar. Sungguh indah memang kata yang satu itu di telinga pelanggan : Bisa !

Petugas tersebut kemudian berkata, “Maaf Mbak, kalau mau lebih cepat, bagaimana kalau labelnya saya coret saja dengan spidol, jadi harganya tetap tidak kelihatan.” Hmmmmm.....cerdik dia. Menawarkan manfaat kepada pelanggan, padahal ia lah yang akan diuntungkan jika saya menyetujui. Tips yang juga selalu saya ajarkan kepada peserta saya saat pelatihan layanan prima. Jika ingin melakukan sesuatu diluar permintaan pelanggan, gunakan bahasa yang positif, tawarkan manfaat kepada pelanggan. 

Nyaris saya mengiyakan jika tidak mengingat bahwa peserta pelatihan saya besok itu pun adalah pelanggan saya. Saya akan merasa tidak nyaman memberi mereka souvenir dengan label bercorat-coret. Saya menolak dan tetap meminta dengan halus agar labelnya dicopot saja. Sebagai pelanggan yang budiman (astaga!), saya pun menawarkan bantuan untuk mencopoti harga di sekitar 40 benda itu. Si mbak yang manis berkata, “Tidak usah, mbak. Biar kami saja.” Lalu ia memanggil petugas penitipan tas yang sudah ‘nganggur’. Dengan tekun mereka berdua mencopoti label, sementara toko sudah nyaris sepi, hanya tinggal beberapa orang pelanggan mengantri di kasir lain. 

Pengalaman lain di Malioboro. Kali ini di toko batik Soenardi. Pernah saya singgah ke sana sambil menenteng-nenteng ‘buntelan’ karpet plastik dan keset yang saya beli di Liman,  toko plastik legendaris di kawasan Malioboro. Usai memilih satu baju, saat membayar belanjaan, mbak kasir (nampaknya pengalaman yang mengesankan bagi saya banyak terjadi di kasir, ya), melihat bawaan saya dan berkata, “Apa mau kantung plastik yang besar sekaligus untuk membawa kesetnya ?” Urusan karpet dan keset saya sama sekali bukan bagian dari job description-nya. Namun ia memilih untuk peduli.

Peduli. Care


Ini lah unsur yang menurut saya merupakan ingredient utama bagi pemberi layanan. Saya bisa saja melatihkan cara komunikasi pelayanan, membantu membuatkan standar layanan, melakukan role-play berulang-ulang sampai peserta mabok. Namun keterampilan, standar, sistem pengukuran tidak akan besar nyala apinya jika tidak disiram dengan bahan bakar berbentuk kepedulian yang tulus pada kebutuhan orang lain. 


Your customer doesn’t care how much you know until they know how much you care. Demikian sebuah kutipan yang sangat terkenal tentang pelayanan. Pelanggan Anda gak peduli seberapa banyak Anda tahu sampai mereka tahu seberapa banyak Anda peduli.


Di dunia di mana pemberi layanan mengatupkan tangan dalam posisi menyembah lalu mengucapkan terima kasih namun dengan tatapan mata kosong atau berulangkali mengatakan ‘pilihan yang baik sekali’ atas menu yang saya pesan di restoran namun tak peduli bahwa pesanan saya tidak datang-datang, pengalaman dibantu secara tulus oleh para pemberi layanan itu terasa seperti minum es kelapa muda di pantai terik. Segar !


Peduli. Care


Hari itu, saya bertemu dengannya di Malioboro. Semoga selalu.





Omahkebon, 8 Januari 2015

Comments

Popular posts from this blog

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Menyoal Pertimbangan Moral - 1