Mangut Lele Mbah Marto, Sebuah Customer Experience Dalam Dapur
Awalnya saya tak kenal dengan mangut lele. Di Jakarta, biasanya saya menikmati pecel lele. Lele yang digoreng kering dan dimakan dengan lalapan sayur. Kenikmatannya terutama terletak pada sambal. Baru di Yogya lah saya menikmati mangut lele yang merupakan olahan ikan lele yang dimasak dengan menggunakan banyak sekali bumbu. You name it. Cabe, jahe, lengkuas, serai, daun salam, daun jeruk, kelapa, kemiri, ketumbar dan lain sebagainya. Rasanya ? Tentu saja eksotis.
Salah satu warung legendaris tempat menikmati mangut lele di
kota
ini adalah Mangut Lele Mbah Marto. Letaknya di Sewon, Bantul. Tak berapa
jauh dari kampus ISI. Untuk mencapai lokasinya, saya perlu bertanya beberapa
kali karena letaknya di perkampungan. Masuk-masuk gang. Tempatnya pun unik.
Sebuah rumah biasa. Tidak seperti warung dengan etalase makanan, untuk dapat
menikmati mangut dan makanan-makanan lainnya, kita harus masuk ke dalam rumah
si mbah, menuju tepat ke jantung rumah tersebut. Dan saat bercerita tentang pengalaman makan di Mangut Lele Mbah Marto, pasti orang akan bercerita tentang 'masuk ke dapur'.
Dapur.
Dapur itu agak gelap. Di sebelah kiri terlihat kayu bakar mengasapi kuali berisikan mangut dan gudeg yang mengepul-ngepul. Warna masakan yang oranye seolah menjamin keniscayaan rasa pedas. Di kanan terletaklah meja perjamuan itu. Bale-bale bambu, dengan pemandangan indah berbagai makanan tradisional Jawa. Mangut, opor, garang asam, gudeg, baceman, entah apa lagi. Di ujung meja duduklah si mbah yang ramah mempersilakan para pengunjung untuk mencoba berbagai penganan. Ia sudah berusia hampir 90 tahun.
Saya datang pada jam makan siang. Dapur suram dan berasap itu dipenuhi oleh
orang-orang berbusana kantoran. Beberapa yang nampaknya turis seperti saya, sibuk bertanya, “Ini apaan sih... pedes gak
...kalau ini apa...terbuat dari apa....pedes gak..” Bahasa yang tak salah lagi menunjukkan dari
kota mana pengunjung tersebut berasal. Jakarta. Sambil menikmati mangut di kursi
bambu pada gang sempit di luar dapur, saya mengamati orang-orang yang sedang
mengantri untuk mengambil makanan. Jantung
rumah itu pun menjadi sesak.
Saya jadi teringat suatu kalimat yang diamini oleh para ahli
pemasaran di era yang berpusat pada pengalaman pelanggan atau customer experience seperti saat ini.
Customers dont buy
product or service. They buy experience.
Bicara tentang dapur, saya pun teringat
pada dapur yang berbeda dengan Mangut Mbah Marto. Roti BreadTalk. Ia
begitu populer, terutama di masa awal munculnya. Lewat kaca
transparan kita bisa melihat dapur tempat proses pembuatan roti dilakukan oleh para baker yang terlihat bersih rapi jali. Lalu bau rotinya. Di
sebuah mal di Jakarta Utara, gerai BreadTalk terletak di lantai dasar, dekat dengan
pintu masuk. Jadi, begitu masuk ke dalam mal, harum rotinya serta
merta menyergap. Dan Anda tahu, penciuman memiliki jalur yang lebih langsung ke
otak dibandingkan dengan indera-indera lainnya. Ibarat lewat jalan tol ! Ada
banyak sekali stimulus yang memanjakan indera hadir di sana. Stimulus yang menyebabkan pelanggan pun datang dan datang lagi.
Bread Talk dan Mbah Marto, dua tempat jajanan yang menampilkan dapur namun jauh
berbeda. Yang satu stylish, terang benderang, modern, membawa sensasi kota besar.
Yang satu ndeso, remang-remang, kuno, membawa sensasi kampung. BreadTalk
membuat sebuah ‘panggung pertunjukan’. Mbah Marto tampil apa adanya.
Keduanya sama-sama menciptakan pengalaman pelanggan yang positif. Bedanya, yang satu memang diniatkan alias distrategikan dengan menggunakan strategi bauran pemasaran (marketing mix) yang detail dan inovatif. Semuanya terprogram, terencana, terpetakan lewat berbagai survey pelanggan dan analisis ini itu. Yang satu terjadi tanpa disengaja.
Keduanya sama-sama menciptakan pengalaman pelanggan yang positif. Bedanya, yang satu memang diniatkan alias distrategikan dengan menggunakan strategi bauran pemasaran (marketing mix) yang detail dan inovatif. Semuanya terprogram, terencana, terpetakan lewat berbagai survey pelanggan dan analisis ini itu. Yang satu terjadi tanpa disengaja.
Mbah Marto menciptakan pengalaman pelanggan secara organik.
Bertumbuh. Beliau berjualan mangut, awalnya berkeliling, kemudian berjualan di
rumah. Menggunakan area yang tersedia di rumahnya saja. And somehow, it works. Cara
berjualan yang ia lakukan tanpa pretensi itu ternyata disukai pelanggan.
Pelanggan yang harus blusuk-blusuk ke perkampungan, menerobos masuk rumah
seseorang sampai ke dapur yang, secara harafiah, ngebul. Abu kayu bakar yang
menumpuk, kuali besar dengan letupan-letupan tanda masakan sudah mendidih. Bau
rempah bercampur dengan asap. Makanan yang terhidang di dipan. Si mbah yang
sepuh.
Seluruh indera terlibat saat berkunjung ke Mangut Mbah Marto.
Bersama dengan imaji-imaji tentang kegiatan dapur di kampung. Pelanggan
memaknai pengalaman ini sebagai ‘sensasi’. Bukan hanya tentang mangut lele, tapi tentang makan
mangut lele di dapur seorang mbah.
Customers dont buy
product or service. They buy experience.
Saya rasa, banyak perumus customer experience strategy dengan analisis rumit yang membuat rambut menipis, akan iri pada si Mbah yang sudah berhasil menciptakan pengalaman pelanggan yang unik. Tanpa ia sadari, namun sudah bertahan selama 70 tahun.
Melalui dapur.
Hidup Mbah Marto !
subhanallah enaknya mangut lele, pengen banget nyobanya,murah dan yang pastinya enak
ReplyDelete