Guardian Angels Do Exist

Perjalanan menziarahi diri. Tulisan Maria Hartiningsih di Kompas Minggu kemarin sungguh mencerahkan Minggu saya. Bercerita tentang para peziarah yang menjalani rute perbatasan Perancis-Spanyol menuju Santiago de Compostela. Mereka berjalan ratusan kilo, berhari-hari, berminggu-minggu dengan membawa barang seadanya, tidur di tempat yang seketemunya, makan apa yang ada, berkawan dengan orang asing sesama peziarah. Ada yang berjalan karena sebuah kaul. Ada yang berjalan karena ingin menyembuhkan luka batin. Ada pula yang berjalan karena memang ingin tahu saja. Namun semuanya sama, berjalan dalam keheningan. Berjalan dalam damai. Sama-sama peziarah. Sesama manusia.

Tulisan ini mengingatkan saya akan pengalaman saya sendiri dalam perjalanan-perjalanan soliter saya. Walaupun tidak sering, beberapa kali saya melakukan perjalanan soliter, sejak belasan tahun lalu. Keliling Jakarta, berwisata angkot di Bandung, perjalanan impulsif di Yogya, Bali, Singapore. Dan yang terjauh adalah perjalanan di tiga negara di benua Eropa.

Banyak cerita menarik, tentu saja. Hal-hal konyol akibat ketidakterampilan saya dalam membaca arah, tempat-tempat aneh yang tidak sengaja saya temui, kecopetan, ketinggalan kereta, kehabisan uang. Namun dalam perjalanan-perjalanan tersebut, yang selalu mengesankan bagi saya adalah pertemuan dengan berbagai manusia. Pertemuan yang meyakinkan saya bahwa ‘guardian angels do exist’.

Saya tidak akan pernah melupakan sosok Mas Sugeng, tukang becak di Yogya tahun 1995 yang saya gunakan jasanya untuk menjadi guide pribadi saya mengantar ke Borobudur dan Parangtritis, sampai jauh di malam hari. Atau Om Martinus, ojek motor di tahun 2010 yang membawa saya berkeliling daerah Maumere sampai perbatasan Atambua. Di sana kami sempat dicegat oleh beberapa orang pemuda setempat, karena om Martinus membawa ‘perempuan putih’. Persitegangan yang mencemaskan, yang berakhir dengan berpindahtangannya sebungkus rokok sebagai simbol perdamaian.

Mas Sugeng dan Om Martinus. Malaikat berkulit gesang dan berbaju lusuh. Wajah mereka sama-sama keras. Namun kesabaran dan kesetiaan mereka menjaga ‘perempuan putih’ yang satu ini, kalau saya ingat-ingat, sungguh mengharukan.

Begitu juga saat saya melakukan perjalanan soliter ke negara lain. Malaikat itu hadir di mana-mana. Dalam bentuk seorang lelaki berwajah culun yang bertanya, “Can I help you?,” di kawasan Orchard pada tahun 1998, saat saya sedang berdiri berlama-lama di bawah sebuah lampu merah, sambil memutar-mutar posisi berdiri saya dan juga memutar-mutar peta yang gagal saya baca.

Ia juga hadir sebagai orang asing yang membantu mengangkat koper di KA, menunjukkan atau bahkan mengantarkan saya menuju tempat tertentu. Sebagai seorang gadis muda yang menepuk bahu saya di Park Guell dan berkata, “Let me take your picture..” saat melihat betapa saya sibuk berusaha memotret diri saya sendiri di bangunan yang memesona itu. Sebagai seorang wanita yang menjadi teman bicara di sebuah restoran spaghetti di hari pertama saya berada di Paris. Ia melihat buku Paulo Coelho yang sedang saya baca, dan kami pun terlibat dalam sebuah diskusi panjang tentang buku Alchemist dan The Zahir. Seperti kawan yang sudah kenal bertahun-tahun. Tanpa menanyakan nama satu sama lain.

Dan, dalam sosok Catherine. Rekan sekamar di hari pertama saya menginap di sebuah youth hostel di Barcelona. Gadis berambut ikal panjang, berwajah bulat nan ceria. Berasal dari Christmas Islands, setiap tahun ia mengambil libur 1 bulan untuk berkelana dengan kakaknya. Ia begitu bersemangat saat mengetahui bahwa rekan sekamarnya ini berasal dari negara yang belum pernah ia kunjungi.

Catherine yang setelah 15 menit saja berkenalan, langsung mengajak saya naik metro ke La Ramblas, untuk mentraktir saya makan tapas dan minum wine di restoran yang buka sampai lewat tengah malam. Bisa dikatakan ia hampir tidak bisa berbahasa Inggris. Namun dengan berapi-api berusaha bercerita terpatah-patah dalam bahasa Inggris, didukung gerakan tangan, ekspresi wajah dan coret-coretan gambar di notes yang selalu ia bawa-bawa. Pada saat-saat tertentu frustasi karena tidak bisa menyatakan apa yang ingin dia katakan. Lalu saya akan berkata, “No problem, I understand you.” Dan kami tertawa saja sambil makan dan minum. Saya merasa disambut dengan ramah di kota itu.

Sungguh, pada saat berada di sebuah tempat yang tidak saya kenal, berinteraksi dengan orang yang tidak saya tahu asal usulnya, pekerjaannya, agamanya, apalagi orientasi seksualnya, yang berbicara dalam bahasa yang tidak saya pahami bunyinya, saya hanya bisa mengenali mereka sebagai: sesama manusia. Human being. Jolma. Wong.

Dan kami berinteraksi dalam bahasa yang akhirnya sama-sama kami pahami. Kebaikan.

Berada dari satu perjalanan ke perjalanan lainnya, saya menjadi amat mengamini suatu kutipan yang berkata, “There are no strangers in this world. Only friends you haven’t met”. And yes, they can be your guardian angels...


                           





Jakarta, 12 November, 1.40 a.m

Comments

Popular posts from this blog

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Menyoal Pertimbangan Moral - 1