Ah, Jakarta !
Seperti biasa, di akhir tahun, saya menjadi agak lebih banyak
bermenung-menung. Dan kali ini, bahan
permenungan saya muncul dari kalimat Seno Gumira Ajidarma yang diunggah oleh seorang
rekan di media-sosial.
Unggahan ini mengingatkan saya pada pertunjukan berjudul End Game.
Suatu drama absurd karya Samuel Beckett yang tokoh sentralnya adalah Hamm (si
tuan) dan Clov (si hamba) yang seolah terikat oleh takdir untuk selalu bersama
dalam sebuah kehidupan yang repetitif dan menjemukan. Ingin pergi, namun tidak
bisa. Benci setengah mati, tapi tetap di situ saja.
Lalu saya pun teringat akan suatu hubungan yang saya
jalani. Yang sama absurdnya.
Antara saya dan Jakarta.
Sakitnya Jakarta, Sakitnya Saya
Jika diibaratkan manusia, Jakarta adalah orang yang
menderita obesitas dengan perilaku hidup tidak sehat. Tubuhnya terlampau gemuk berisi manusia, mobil, motor, yang semuanya menghasilkan kotoran. Asap di paru-paru, sampah di usus, saluran darah yang mengangkut
milyaran ton muatan sehingga mampat di sana-sini. Semua molekul di dalam tubuh
kota bernama Jakarta ini seolah tak mampu bekerja-sama secara harmonis.
Akibatnya ? Jelas, penyakitan ! Tak perlu analisis doktor sosiologi, bahkan buku pelajaran keponakan saya di kelas
1 SMA pun sudah memuat dampak dari terlalu sesaknya sebuah kota.
Saya adalah bagian dari si penyakitan ini. Mengisap asapnya,
menggeluti macetnya, tertatih-tatih di trotoarnya yang berlubang, terkurung banjirnya.
Mengamati perubahan dalam perilaku saya seiring dengan perubahan kota ini.
Contoh kecil saja.
Jika 2 atau 3 tahun lalu saya adalah orang yang masih bisa mencari
tempat ngopi di Kemang dari rumah saya di bilangan Jakarta Pusat, maka sekarang,
kalau bisa ngopi di tempat yang masih satu kecamatan saja lah. Atau saat
janjian dengan teman di mal pusat kota. Masa-masa janjian after office hour dan asik-asik saja
walau hari mendekati tengah malam, rasanya sudah lewat. Sekarang saya lebih sering membuat janji di siang hari dan pada jam 4 sore sudah gelisah ingin segera beranjak.
Jika 2 tahun lalu dengan argo taksi 75rb saya bisa sampai ke Lebak Bulus, sekarang saya pernah membayar 100rb hanya untuk jarak dari Thamrin-Tebet Utara. Dua tahun lalu, saya masih bisa kangen dengan kota Jakarta setiap usai bepergian jauh. Kini, setiap akan pulang ke Jakarta, saya seperti merasa perlu mempersiapkan energi dan napas cadangan.
Jika 2 tahun lalu dengan argo taksi 75rb saya bisa sampai ke Lebak Bulus, sekarang saya pernah membayar 100rb hanya untuk jarak dari Thamrin-Tebet Utara. Dua tahun lalu, saya masih bisa kangen dengan kota Jakarta setiap usai bepergian jauh. Kini, setiap akan pulang ke Jakarta, saya seperti merasa perlu mempersiapkan energi dan napas cadangan.
Saya pun menjadi bagian dari mereka yang berkeluh-kesah di media sosial saat berhadapan dengan sakitnya kota ini.
Menjadi semakin grumpy
seperti si kurcaci dalam dongeng Snow White.
Menjadi ikut sakit.
Mungkin ini lah yang dimaksudkan oleh band lawas Chicago: After the love has gone...
Di Mana Reptil Berkuasa
Sebagai orang yang merasa cukup adaptif dengan berbagai
kondisi, saya kok merasa gagal beradaptasi dengan perubahan kota ini. Tidak mampu oke-oke saja dengan kondisi yang mengharuskan saya menghabiskan waktu 1 jam
untuk jarak sekitar 6km. Atau membuat pikiran positif selalu hadir saat Jakarta kena hujan dan saya harus
menanggung akibatnya dengan berada dalam kendaraan selama 2,5 jam.
Padahal kalau dipikir-pikir, problema saya masih belum ada
seujung kuku problem rekan-rekan lain yang harus terhimpit-himpit di bus atau
menghirup polusi udara di atas motor yang juga harus jago bermanuver selip-menyelip
sana-sini untuk mensiasati kondisi jalanan.
Jika dikaitkan dengan teori tentang triune brain-nya Paul MacLean (http://en.wikipedia.org/wiki/Triune_brain), maka kota ini
nampaknya lebih banyak mengaktifkan otak reptil saya. Urusannya seputar respon terhadap
ancaman (kriminalitas, macet, banjir). Dan saat berada dalam kondisi yang terus
menerus mensiagakan otak reptil, maka bagian otak yang terkait dengan kreativitas dan
kemampuan berpikir lebih kompleks pun menjadi terhambat. Akibatnya, agak
sulit bagi saya untuk mencapai kondisi flowing di mana
saya benar-benar tenggelam dalam apa yang sedang saya lakukan dan merasa
mengalir di dalamnya.
End Game
Lalu kenapa masih ngejogrog di Jakarta ? Ya itu tadi. End Game ! Hampir 70 % peredaran uang di Indonesia ini
berpusat di Jakarta. Kalau ada yang mengatakan apa pun bisa dijadikan uang di sini, mungkin ada benarnya juga. Bahwa saya bisa berada pada kelompok middle-income class, itu pun karena ‘jasa’ kota
Jakarta. Maka, si unsur bernama kapital ini lah yang menciptakan hubungan absurd
antara saya dan Jakarta. Sebal namun tetap saja bercokol di dalamnya. Mencoba
untuk ikhlas menanggung sebagian dari 65 triliun kerugian / tahun akibat macetnya, namun selalu gagal.
Menjadi bagian dari penyakit yang
menggerogoti kota ini, karena menghembuskan energi ngomel-ngomel di dalamnya.
Pak Ahok mengatakan dengan selesainya MRT nanti maka 6 tahun lagi
Jakarta akan menjadi kota yang jauh lebih baik. Mungkin saja. Namun sakit
jiwa yang diderita selama 6 tahun berada di kota yang akan semakin buruk ini, saya rasa akan
membekas secara permanen.
Dan, saya pun masih tetap di sini juga. End game.
Aaaaah, Jakarta !
Omahkebon, 16 Desember 2013
Ps : Saya menuliskan ini semua dalam kondisi sesadar-sadarnya bahwa hidup adalah pilihan.
Ps : Saya menuliskan ini semua dalam kondisi sesadar-sadarnya bahwa hidup adalah pilihan.
Ah Jakarta, kota dengan seribu penyakit dan tetap mengundang banyak orang datang ke ibukota. Money matters. Saya jadi merasa beruntung tinggal di Bandung.
ReplyDeleteBuat Eda, tampaknya Omah Kebon membuat hidup menjadi balance. Semuanya akan kembali bersatu dengan alam. That's what I call life.