17 Tahun – Catatan 2
Meneruskan pensieve
Di catatan 1 saya telah
menuliskan ribetnya saat dulu ingin bisa sah menjadi trainer. Berhubung
pensieve saya belum penuh, maka selama tahun ini belum berakhir, saya akan
menumpahkan lagi beberapa catatan sweet-seventeen
ini.
Ada begitu banyak ‘how-to’ untuk
menjadi seorang trainer. Jika mengacu
pada The International Board of Standard
for Training, Performance and Instruction (IBSTPI) ada 17 kompetensi yang diperlukan agar seseorang dapat dikatakan
sebagai seorang trainer yang profesional. And
let me tell you, my friends, those 17 competencies are very far from easy.
Saya tidak ingin lagi menambahkan
daftar kompetensi tersebut. Nanti ada yang merasa langsung ingin pensiun
sebelum memulai menjadi seorang trainer. Yang ingin saya bagikan adalah
beberapa hal yang perlu juga diingat untuk dapat menjalankan peran sebagai
trainer, dengan gembira.
It’s not about you. It’s about them
Saat melatih para trainer, seringkali peserta saya
curhat tentang sikap peserta mereka yang
dianggap merusak harkat dan martabat seorang trainer. Mulai dari perilaku-perilaku kecil seperti ‘cetak-cetek
bolpen,’ BBM-an terus selama pelatihan, atau memberikan pertanyaan-pertanyaan
yang dianggap menyerang. Salah seorang trainer
peserta pelatihan saya pernah mengatakan, “Saya jadi tidak merasa dihargai
sebagai seorang trainer.” Secara
bercanda saya mengatakan, “Memangnya harga trainer
berapa sih...”
Semakin lama berproses sebagai
seorang trainer, semakin saya menyadari apa artinya pembelajaran yang berpusat
pada peserta, atau ‘participants-centered learning’. Bagi saya,
prinsip ini bukan hanya terkait dengan masalah menggunakan berbagai metode
pembelajaran. Bukan pula sekadar membuat pelatihan menjadi menarik. Tapi
terutama terkait dengan pola pikir saya sebagai orang yang berdiri di depan
kelas.
Kembali mengutip perkataan
sahabat saya yang aktor : Saat berada di atas panggung, aktor tidak lagi
menjadi penting. Yang penting adalah peran.
Menurut saya, masalah
harga-menghargai ini, tidak ada
urusannya dengan posisi sebagai trainer. Sesama manusia perlu saling
menghargai. Itu mutlak. Tapi tujuan seorang trainer berdiri di depan kelas,
bukanlah untuk memanen penghargaan, namun untuk membuat peserta paham apa yang
sedang didiskusikan. Membuat peserta merasa terinspirasi untuk melakukan suatu
perubahan dalam dirinya. Itulah judul lakonnya dalam bahasa yang sedikit
njelimet.
Bahwa untuk bisa mencapai tujuan
tersebut perlu ada sinergi yang didasari oleh rasa saling menghargai, itu
betul. Tapi tujuan utamanya tetap: supaya peserta dapat belajar. Bukan semata untuk mengarahkan lampu sorot
pada si trainer.
Seringkali trainer menjadi terlalu fokus pada dirinya. Bagaimana supaya tampil
super memukau dengan berbagai teknik suara, bahasa tubuh dan juga multimedia.
Sehingga pada saat ada peserta yang kelihatan kurang fokus, atau pertanyaannya
belok 1 derajat dari materi yang dibahas, ia akan menganggap respon tersebut
sebagai reaksi yang merusak harkat dan martabat seorang trainer. Lalu terlukalah
ia...
Padahal, tak perlu lah terlalu
cepat tersinggung. Apalagi pundung. Merasa diabaikan, merasa diserang. Suatu
pertanyaan apakah dianggap menyerang atau tidak, itu kita sendiri yang
memaknai. Kalaupun memang intensinya menyerang, kemungkinan sebabnya ada 2 :
1) Orang itu memang agresif sehingga
suka menyerang; 2) Kita sebagai trainer
memang ‘nyebelin’ sehingga diserang. Jika yang pertama yang terjadi, maka
kasihanilah dia, karmanya akan buruk karena suka menyerang orang. Jika yang
kedua, bertobatlah supaya tidak jadi trainer nyebelin.
Sederhana saja.
Berjarak dengan diri sendiri
Menjadi trainer bisa menjadi
sangat menyenangkan namun juga dapat membuat stres berkepanjangan. Mengapa
demikian ? Karena reward dan punishment-nya
langsung diterima saat itu juga.
Kalau Anda adalah semacam mahluk
‘narcissus maximus’ maka menjadi seorang trainer
dapat menggembungkan sisi narsistik Anda. Tatapan kagum peserta, komen-komen
semacam, “Sungguh inspiratif !” “Keren buanget !”, diminta foto bersama, menandatangani
buku peserta, atau dimintai kata-kata mutiara dapat melambungkan perasaan Anda.
Seperti menjadi seleb dalam dunia intelektuil, begitu.
Sebaliknya, membaca komen semacam
“Bicaranya terlalu panjang” atau “Videonya basi, sudah sering dipasang di
training-training,” bisa langsung juga memberi efek ‘makjlebbbb’ pada Anda.
Lalu bagaimana agar tidak
terbanting-banting di antara dua kutub emosi ini ?
Berjarak dengan diri sendiri.
Menurut saya, tingginya ilmu seorang trainer bukanlah dilihat
dari, among other things, kemampuan untuk membuat pesertanya
menangis-nangis atau bisa mendemonstrasikan makan paku. Namun jika ia sudah
mampu mengevaluasi dirinya dengan evaluasi yang sama seperti yang dikatakan
oleh pesertanya, bahkan lebih tajam, barulah ia akan saya panggil dengan
sebutan sebagai ‘kakak tertua’, seperti dalam terminologi film silat.
Saya katakan ini ilmu yang tinggi
karena artinya selama berdiri di depan sana, ia berada dalam suatu kondisi
kesadaran penuh. Menyadari setiap tindakannya. Mengamati dirinya sendiri. Tahu
apa yang sudah baik dan apa yang masih perlu diperbaiki. Menjadi pelaku
sekaligus pengamat selama proses interaksi di kelas. Umpan balik seperti apa
pun akan dianggap biasa saja. Tidak akan membuat melambung terlalu tinggi atau
jatuh terlalu dalam.
Meminjam jargon penyanyi
dangdut tahun 90-an, Vety Verra :
“Terlalu girang, jangan. Terlalu sedih, jangan. Yang syedang-syedang saja... “
Dan ini, akan meringankan langkah
kita saat menjalankan peran sebagai seorang trainer.
Menjadi diri sendiri (yang suka berbagi)
“Saya kalau ngomong itu logat
Jawanya kental sekali.... Saya itu gak bisa lincah seperti trainer-trainer yang
lain... Penampilan saya kayaknya kurang menarik.... “
Demikian kata beberapa peserta
pelatihan saya. Yang selalu akan saya jawab dengan : So what ?
Banyak peserta pelatihan saya yang
mengira bahwa menjadi trainer itu harus seperti Mario Teguh, Tung Desem
Waringin, atau Mamah Dedeh. Guess what :
No ! You are not them. You are you!
Klise, tapi memang demikian
adanya. Anda ya Anda. Mungkin Anda punya logat Jawa yang kental, suka tertawa
lepas di depan kelas (seperti saya), bicara Anda tidak menggebu-gebu. Ya, tidak
apa-apa.
Seriously, tidak apa-apa ! Tinggal menyadari saja kekuatan dan
kelemahan diri sendiri, lalu menyiasatinya dengan berbagai teknik agar peserta
dapat menerima manfaat dari materi kita.
Tentu saja memang ada
patokan-patokan standar baik-buruk dalam dunia berbicara di depan umum
sebagaimana halnya dalam semua bentuk komunikasi di dunia ini. Namun pada
akhirnya, biarlah standar itu menjadi patokan dan bukan menjadi pengikat yang
membuat asli kita terkekang.
Seperti kata seorang rekan yang
memimpin sebuah sesi yoga : kesempurnaan gerak menjadi acuan, bukan tujuan.
Biarkan diri sendiri mencapai geraknya. Ah, sedaaaaap..... !
Lalu mengapa saya tambahkan frase
‘(yang suka berbagi)’ pada judul bagian ini ? Karena pada dasarnya, training is sharing. Membagi
pengetahuan, membagi waktu, membagi diri. Untuk bisa melakukan hal ini dengan
gembira, kita perlu menjadi nyaman dengan diri sendiri. Nyaman dengan apa yang
kita ketahui dan tidak ketahui. Nyaman dengan apa yang sudah baik dan belum
baik dalam diri kita. Tampil apa adanya, dengan keinginan membagi apa yang kita
punya dan belajar dari proses tersebut.
Ini lah yang saya namakan ‘sudah ketemu
dan selesai dengan diri sendiri.’ Tidak lagi pusing dengan urusan citra.
Saat berada pada fase ini,
menjadi trainer sungguh merupakan peran
yang bisa dijalankan dengan senang. Bagaimana tidak, bahkan kitab suci saya pun
mengatakan: Adalah lebih baik (bahagia) memberi daripada menerima.
Ternyata, selama 17 tahun
menjalankan peran ini, saya bukan hanya belajar tentang bagaimana berkembang sebagai
seorang trainer. Namun juga belajar berkembang sebagai manusia.
Sesuatu yang sampai detik ini,
masih terus saya pelajari.
Dan masih selalu seru.
Omahkebon, 10 Desember 2013
Comments
Post a Comment