Pemilu di Kampungku - 5 tahun lalu

Untung juga saya membuat catatan ini 5 tahun lalu. Saat saya masih menjadi seorang pemilih yang setia dan penuh asa (tsaaaaah !). Kini, saya sudah bukan lagi orang yang ingin menjadikan pemilu sebagai ajang sosialisasi. Bahkan, antara saya dan pemilu sudah terjadi perbedaan visi dan misi. Pemilu ingin membentuk DPR, saya ingin DPR bubar :).  

But I love Indonesia, still !

_______________________________________________

 

Pemilu di Kampungku….

April 9, 2009 at 5:17pm

Ingin cerita yang ringan-ringan saja tentang Pemilu...

Saya tinggal di area perkampungan. Kampung besar di pusat Jakarta. Namanya Tanah Tinggi. Seorang kawan pernah mengatakan bahwa saya tinggal ‘on the gank’ alias di gang. Sekarang gangnya tidak terlalu sempit, karena mobil sudah bisa masuk, tapi tentu saja pengemudinya harus berkonsentrasi penuh saat melakukan berbagai manuver.

Tidak begitu jauh dari rumah saya ada gang sempit nan becek dan kumuh. Entah mengapa, gang itu disebut dengan ‘gang Apache.’ Mungkin karena di sana orang masih memasak, mencuci, ngobrol-ngobrol di tengah jalan, mirip seperti di perkampungan orang Indian jaman dulu.

Praktis seumur hidup saya tinggal di area ini. Praktis saya mengenal dan dikenal oleh hampir semua orang di gang saya sendiri maupun di gang Apache, terutama karena dulu ayah saya adalah warga yang gaul. Namun demikian, tidak banyak kesempatan bagi saya untuk berinteraksi atau mengamati dinamika warga di sekitar saya. Dan, Pemilu adalah salah satu di antara beberapa kesempatan langka bagi saya untuk melakukan hal itu.

Tidak seperti kawan-kawan yang terpaksa menjadi ‘golput administratif,’ sebagai warga saya cukup dimanjakan oleh kampung ini. Pagi jam 10, saat saya masih leyeh-leyeh dan membaca-baca facebook di tempat tidur, terdengar suara di depan pagar memanggil nama saya. Ternyata, Pak Zakir, sang RT , memanggil saya dan kakak saya untuk segera ke TPS. Wes…dijemput, rek! Mungkin, Pak Zakir yang sudah menjabat sebagai RT selama 3 periode ini sudah dapat mengendus bau-bau warga yang malas datang ke TPS.

Untuk menuju lokasi TPS, saya pun harus melewati gang Apache. Dan di sana, terjadi suasana akrab dan sapaan-sapaan penuh kehangatan serta tawa di sana-sini. ‘Sudah nyontreng?’ ‘Sudah dong.’ ‘Pilih siapa?’ ‘Pilih no 11, kan Pak RW kita jadi caleg dari Hanura..’ Atau sapaan2 yang ditujukan pada saya ‘Neng, udah lama gak kelihatan, ke mana aja? Wah, makin cantik aja nih…’ (kalimat yang terakhir adalah khayalan saya saja sih, hehehehe…). Sapaannya tetap hangat, tidak berubah sejak ayah saya masih hidup. Kondisi gangnya pun tidak berubah. Becek.

Suasana di TPS tidak terlalu ramai. Saya mendapat nomer 190. Sambil menunggu giliran, saya dan kakak saya melihat-lihat kembali foto para caleg. Terdengar suara petugas pengaman TPS yang berkata “Dipeleh....dipeleh....dipeleh.....yang caleg..yang caleg..yang caleg...” sambil menepuk-nepukkan tangannya pada poster berisi foto para caleg. Lucu sekali.

Saat mengamat-ngamati poster, saya mendengar seorang pemilih mengatakan bingung karena partainya banyak sekali. Kakak saya pun menyatakan kebingungannya dalam memilih caleg. Si petugas TPS, yang tentu saja kami kenal juga, ikut-ikutan melihat foto para caleg dan dengan proaktif menyarankan beberapa caleg untuk kami pertimbangkan. “Pilih yang ini aja nih....atau yang ini...” Kalimat selanjutnya yang bikin saya terbahak “Kan sama-sama orang Batak.....” Hmmm… benar juga ya, di saat saya masih agak-agak bimbang begini, mungkin pertimbangan etnis dapat membantu :)

Tiba giliran saya memilih. Saya sebenarnya cukup geli melihat bilik TPS yang mungil yang tak akan mampu mengakomodasi surat suara yang lebar itu. Setelah selesai mencontreng dan kemudian mengungukan kelingking saya, seorang petugas bergurau lagi ‘Yang sudah nyontreng, boleh makan gratis di warung Yu Isah….’ Warung Yu Isah, yang berjualan nasi dan lauk-pauk, yang makanannya semua diolah di gang Apache nan becek dan busuk, namun selalu menjadi ‘suaka’ bagi warga di kampung saya jika di rumah tidak ada lauk. Hebatnya, selama puluhan tahun masakan Yu Isah tidak pernah membuat kami diare.

Setelah kakak saya selesai memilih, kami pun pulang dan bersapaan kembali dengan warga sambil sok-sok menyombongkan diri dengan menunjukkan kelingking ungu kami.

Oh ya, dalam perjalanan pulang, kakak saya berkata bahwa dia melihat bapak-bapak di sebelahnya memberi tanda silang besar-besar di kertas suara, dan menulis ‘TIDAK ADA.’ Ah, sempat-sempatnya saja si kakak mengintip-ngintip ke bilik sebelah. Saya pun terkekeh-kekeh dalam hati. Kertas yang besar dan bilik yang mungil, kombinasi yang sempurna untuk merusak aspek ‘Rahasia’ dalam Pemilu ini…..

Memang lucu Pemilu kali ini, dan saya memilih untuk terlibat dalam kelucuannya. Menjadi pemain sekaligus penontonnya karena, terlepas dari segala ketidakberesannya, paling tidak Pemilu sudah menjadi ajang yang baik bagi saya untuk bersilaturahim dengan para The Highlander alias warga Tanah Tinggi.... (Lebaraaaan, kaliiiii...)

Comments

Popular posts from this blog

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Menyoal Pertimbangan Moral - 1