Khotbah Pendeta, Pesawat Terguncang, Selfie...




Hari Minggu, 30 Maret. Pendeta yang berkhotbah di gereja tempat saya ibadah bertanya, “Jika Anda naik pesawat lalu tiba-tiba pesawat terguncang hebat dan pilot mengumumkan bahwa Anda harus bersiap-siap karena pesawat akan melakukan pendaratan darurat, apa yang akan Anda lakukan ?” Mayoritas jemaat menjawab kompak, “Berdoaaaaa...” , dengan diselingi cekikikan dan celetukan rekan-rekan saya yang iseng mengatakan, “Update status, Paaaak...”

Hari Senin, 31 Maret.  Libur Nyepi.  Saya menuju ke tempat penyepian saya di Yogya.  Dan apa yang ditanyakan oleh Pak Pendeta pun saya alami. 

Sekitar 15 menit menjelang pendaratan, pesawat yang saya tumpangi terguncang hebat sekali. Saya merasa bak sedang naik bajaj di jalanan beraspal bolong. Pada titik tertentu, pesawat seolah terjun bebas menuju ruang hampa udara. Wuhuuuuuuuu..... Sontak terdengar jeritan dan seruan dari para penumpang.  Saya teringat saat naik wahana Niagara-Gara di Dufan. 

Tentu saja saya ikut berseru kaget, tapi sebentar saja. Kemudian saya sibuk melakukan kegiatan yang lebih mengasyikkan : mengamati perilaku para penumpang. Saya bersyukur karena saat itu secara spesifik saya meminta untuk duduk di area gang, sehingga bebas untuk celingak-celinguk. 

Wanita di sebelah saya memejamkan mata, menyandarkan kepalanya ke jendela dan menggumamkan, “Astagafirullah....Astagafirullah....” berulang-ulang. Keningnya berkerut dalam. Hmmm... konsentrasi penuh. Sedang ketakutan bahwa pesawat ini akan bernasib sama dengan MH 370. Satu kursi di depan saya,  di sayap seberang, seorang lelaki tua. Engkong-engkong. Ia menundukkan kepala. Bahasa tubuhnya terlihat santai, tidak banyak berubah. Hanya sebentar saja menundukkan kepala, setelah itu ia pun melakukan kegiatan yang sama seperti saya. Celingak-celinguk. Hmmmm.... sudah pasrah sempurna. Tidak takut mati. 

Lalu saya menolehkan kepala,  ke arah satu kursi di belakang saya, juga dari sayap seberang. Lelaki muda berdada tegap dengan otot-otot lengan yang mengkal. Anak fitness. Matanya terpejam, kepalanya tertunduk, jari jemarinya terkait, ia tekan di dada. Sikap sempurna berdoa ala Kristiani sebagaimana diajarkan sejak anak-anak di sekolah minggu. Hmmmm.... belum siap mati. Kemengkalan ototnya tidak membantu apa-apa saat dihadapkan pada kemungkinan jemputan maut. 

Semua pengamatan ini hanya berlangsung sekitar 2 menit saja, karena setelah itu pesawat berjalan dengan biasa kembali. Bagaimana kisah para penumpang ? Mereka pun kembali ke aktivitasnya semula. Si mbak di sebelah kembali memasang earphone untuk mendengarkan lagu dari smartphone-nya, si engkong membaca majalah, si lelaki mengkal....entahlah...apa dia terus berdoa atau tidur, saya tidak terlalu pandai melihat bedanya. 

Akhirnya, pendaratan. Belum sampai 30 detik roda pesawat menyentuh landasan, terdengarlah bunyi ‘tiiit....tiiiit’ dan ‘rrrrrr...rrrr....’ silih berganti. Pengumuman berulang-ulang untuk tidak mengaktifkan telepon genggam sebelum sampai di terminal terabaikan begitu saja. Seolah kini hidupnya bukan lagi tergantung pada Tuhan, tapi pada nyala atau tidaknya telepon genggam mereka. 

Saat mendiskusikan pengamatan ini dengan partner saya, ia berkata bahwa seringkali seruan dan rapalan doa itu sekadar respon psikologis saja. Psikologi orang yang butuh bantuan. Bukan karena relijius. Setelah guncangan selesai, ya sudah. Kembali seperti kebiasaan semula. Tuhan kembali menjadi pelampung, yang dicari saat kapal mau tenggelam. 

Ya....ya...ya... Pengamatan 2 menit ini membawa satu ingatan kesadaran lagi bagi saya. Manusia memang pelupa. Dalam hidupnya ia mungkin mengalami guncangan hebat. Sakit parah, ditipu rekan bisnis, pertengkaran hebat dengan pasangan. Kemudian terselamatkan. Lalu sambil terharu-biru melakukan kesaksian (testimoni) kepada banyak orang tentang bagaimana Tuhan menyelamatkan. Lalu lupa lagi. Melakukan kebiasaan-kebiasaan lama. Pola hidup tidak sehat, investasi tanpa pikir panjang, pacaran dengan orang-orang ‘tidak jelas’. Guncangan lagi. Jerit-jerit lagi. Terselamatkan lagi. Lupa lagi. 

Mengalami tsunami. Mengalami bencana gunung meletus. Mengalami banjir. Jerit-jerit. Terselamatkan. Lupa lagi. Siklus yang manusiawi. Siklus yang membosankan. Untunglah Tuhan bukan saya. Dia tidak pernah bosan. 

30 Maret 2014, Pendeta saya berkata, “Jika pesawat itu berhasil melakukan pendaratan darurat, dan Anda selamat, apa yang akan Anda lakukan ? Apakah akan bertobat dan menyerahkan hidup pada Tuhan ?” 

31 Maret 2014, saya berpikir, mungkin yang lebih sering terjadi adalah kalimat iseng rekan-rekan saya, Mereka mengatakan bahwa begitu selamat maka yang akan dilakukan adalah update status lagi. Selfie dekat pesawat. 

Dengan kata lain, kembali ke kebiasaan-kebiasaan lama. 

Karena guncangan itu hanya mampir sebentar saja ke memori jangka pendek. Sekadar menjadi pengalaman, tanpa pemahaman. Sekadar bahan cerita, tanpa makna nyata. 

Sekadar menjadi sebuah coretan di blog, seperti yang Anda baca saat ini. 


Omahkebon, 3 April 2014

Comments

  1. Wah...bacaan yg sangat menyentil saya...iya yah...saya ternyata hanya berdoa lebih khusuk kalau lagi ada guncangan, dan setelah turbulunce berlalu...lupa lagi, dan kumat lagi deh kebiasaan buruknya....yah, namanya juga manusia di dunia fana ;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Menyoal Pertimbangan Moral - 1