Inspirasi Mbah Ngadikem



 
Namanya mbah Ngadikem. Dia ibu dari Mbak Ginem, asisten yang membantu bersih-bersih Omahkebon.  Walau asisten resmi kami adalah Mbak Ginem, si mbah setiap hari ikut datang membantu. Lengkap dengan wajah cerianya. Ia selalu tersenyum. Anda bisa melihat sendiri dari foto yang saya unggah ini. Saat sedang menyapu pun ia senyum.  

Dia kelihatan berbahagia. 

Ah, ngomong-ngomong soal bahagia, Anda tahu lagu Happy yang dibawakan oleh Pharrell Williams ? Saya suka lagu itu. Diambil dari album soundtrack film Despicable Me 2. Lagu ini bernada  funky, dengan lirik yang asyik dan klip video yang melukiskan kegembiraan. Klip video lagu Happy ini dibuat dalam banyak versi di berbagai negara.  Ada klip Happy versi Paris, Amsterdam, Hongkong,  Jakarta, dan berbagai kota lain di dunia. 

“Because I’m happy...clap along if you feel like happiness is the truth
Because I’m happy....clap along if you know what happiness is to you”

Ya, di luar berbagai definisi psikologi yang njelimet tentang kebahagiaan, pada umumnya saat bicara tentang bahagia, orang sedang membicarakan sebuah sebuah perasaan positif. Seneng. Hepi... Dan pada umumnya orang akan mengatakan: Happiness is a state of mind.

Indeed ! Tapi saat menggumamkan lirik lagu ini, saya jadi teringat pada obrolan dengan seorang rekan tentang Martin Seligman, seorang pakar psikologi positif yang banyak sekali bicara tentang kebahagiaan.  

Lewat berbagai riset, Seligman menemukan bahwa kebahagiaan terdiri dari 3 dimensi. Dimensi yang pertama dinamakan sebagai ‘The Pleasant Life’. Dalam dimensi ini, kebahagiaan diperoleh saat kita menikmati (atau mensyukuri) kesenangan-kesenangan yang masuk kategori ‘kebahagiaan tingkat dasar’ seperti makanan, minuman, persahabatan, hubungan romantis. 

Dimensi kedua, ‘The Good Life’, didapat saat kita menemukan kekuatan, talenta dan nilai-nilai kita serta menggunakannya untuk meningkatkan kualitas hidup.  Kepuasan yang didapat sebagai hasil dari eksplorasi terhadap talenta.  Sebuah karya. Hasil kerja. Sebuah keyakinan. Sebagai ‘mahluk ga bisa diem’, saya sering mengalami kebahagiaan level dua ini. Saat sungguh-sungguh menyiapkan sebuah pelatihan. Saat Omahkebon mulai berwujud. Saat menulis. Saat produktif.  

Dimensi ketiga dan terpamungkas adalah ‘The Meaningful Life’. Sebuah kebahagiaan yang didapatkan saat kita menggunakan kekuatan dan nilai-nilai kita untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Something greater than ourselves. Sesuatu yang urusannya bukan lagi sekadar berkaitan dengan ‘bagi saya’ tapi juga sudah ‘bagi orang lain.’ Orang tua yang memberi hidup untuk anak-anaknya demi anak-anak itu sendiri  (bukan sekadar demi kebanggaan diri orang tua) , guru tari yang membantu anak-anak autis lewat latihan menari. Bukan lagi tentang masalah eksistensi diri, tapi memberi nilai tambah bagi kehidupan orang lain. 

Seligman menyatakan bahwa setiap dimensi kebahagiaan itu pada dasarnya akan menimbulkan perasaan positif. Tetapi, untuk dapat mencapai kebahagiaan yang lebih hakiki dan bertahan lama, ia mengatakan bahwa individu perlu bergerak dari dimensi pertama sampai ketiga. “Tak ada jalan pintas menuju kebahagiaan,” demikian ujarnya.  

Individu bisa saja mencari perasaan positif dari ‘The Pleasant Life,’ mengejar kesenangan lewat kuliner ini itu, wisata ke sana ke mari, kumpul-kumpul, berpindah dari satu hubungan ke hubungan romantis lainnya. Namun jika hanya berputar di situ-situ saja, maka ia akan terjebak menjadi seorang yang mengejar kesenangan yang remeh-temeh. Dan pada titik tertentu, ia bisa saja tetap merasa kosong. Tidak bahagia. Mungkin sesungguhnya dirinya membutuhkan asupan kebahagiaan yang ada pada dimensi yang berbeda. 

Pada fase ini mungkin orang akan mengatakan: Ah, yang penting hepi, yang penting tidak merugikan orang lain. Saya pikir, memang betul. Tindakan ini memang tidak merugikan orang lain. Namun justru merugikan diri sendiri karena tidak memberi ruang untuk berkembang dalam mencari tingkat kebahagiaan yang lebih dalam, atau yang Seligman istilahkan sebagai ‘kebahagiaan yang otentik’. Suatu kebahagiaan yang bukan didapat dari sekadar menipu diri sendiri.

Pendekatan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Victor Frankl (bapak Logoteraphy, seorang survivor dari tahanan Nazi) yang mengatakan bahwa sumber motivasi terkuat manusia adalah keinginan untuk mencari makna. Kalau membaca tulisan seperti ini, maka tak urung terbersit pikiran: berat kali kurasa...hidup hanya sekali kok susah banget ya.... Tapi sebenarnya, tergantung pola pikir saja. Hidup cuma sekali. Eman-eman kalau kebahagiaannya cuma di dimensi 1.` 

Saya sendiri, kalau ditanya apa salah satu my memory of happiest thoughts, akan dengan cepat mengatakan: saat bersama rekan-rekan di Kelompok Tunas, membuat program pendidikan bagi anak usia SD dengan menggunakan media lingkungan hidup, khususnya laut. Secara materi, saya sama sekali tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan itu, bahkan terkadang tekor. Tapi senangnyaaaa... ampun-ampunan, deh ! Melihat kekaguman mereka saat kami bawa snorkeling, cerita mereka tentang ikan dan karang, jeritan mereka saat menemukan ‘harta karun’, melihat bahwa pengetahuan mereka bertambah dengan cepat lewat metode-metode yang kami buat. Priceless...! Dan memang, ternyata  perasaan positif yang ditimbulkan oleh kegiatan yang bermakna seperti itu lebih besar dan bertahan jauh lebih lama. 


Kalau berbicara dari sudut keimanan yang saya anut, Yesus sendiri selalu berbicara tentang apa yang dimaksud dengan “Meaningful Life”. Mengasihi, menolong sesama, mencintai musuh, menjadi terang bagi dunia ini. Ia pun menjadi contoh yang sempurna dalam aspek pengorbanan bagi umatNya. Selalu mengajarkan untuk ‘pindah dimensi.’ “Karena hidup, bukanlah hanya soal makan dan minum,” begitu ajaranNya.



Dan inilah rumusan bahagia yang Ia ajarkan. 

“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan memperoleh kemurahan
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena mereka lah yang empunya Kerajaan Sorga
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. “ (Matius 5 : 3-11)

Saat ini saya sedang  membaca kembali buku “Zen, Melatih Kucing Menangkap Tikus”. Dalam buku itu, Master Sheng-Yen mengatakan bahwa untuk menemukan dirinya yang sejati, orang harus kehilangan dirinya. Yaitu keluar dari diri sendiri. Keluar dari ego, hasrat dan delusi. Weh, abot tenan ik. Sebenarnya, memang seperti itu juga yang dikatakan Yesus. Lemah lembut, membawa damai, murah hati, suci hati. Bukankah itu semua ciri-ciri orang yang sudah keluar dari ego ? Orang-orang yang hidupnya sudah sampai dalam tahap “Meaningful Life” secara utuh. 

Kembali ke Mbah Ngadikem. Apakah ia orang yang berbahagia ? Melihat ekspresi wajahnya yang selalu ceria saat menyapu atau mencabuti rumput, saya rasa ya, dia adalah orang yang berbahagia. Mungkin ia adalah orang yang mensyukuri makanan-minuman yang ia peroleh setiap hari, menghayati nilai-nilai budaya dan reliji yang ia pegang, dan sudah melalui hidup penuh kerja keras untuk menopang hidup keluarganya. Kebahagiaannya sudah penuh. Sudah otentik. 

Mungkin saya sedang meromantisasi Mbah Ngadikem. Tapi yang pasti, ia sudah menginspirasi saya untuk menulis di pagi hari ini. Dan membuat saya berpikir tentang Pharrell Williams, Martin Seligman, Victor Frankl, lalu ke Tuhan Yesus dan ke master Sheng Yen. 

Terima kasih bagi Anda yang sudah bersedia membaca racauan saya ini.

Semoga semua mahluk berbahagia....



Omahkebon, 13 Maret 2014

Comments

Popular posts from this blog

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Menyoal Pertimbangan Moral - 1