Her. Manusia Digital. Manusia Sepi
Dan baru-baru ini saya terpuaskan oleh film bagus. Her, yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix, Amy Adams dan Scarlett Johansson. Sudah lama rasanya tidak menonton film seperti ini. Film dengan cerita yang kuat, ide yang keren, tanpa banyak kehebohan dan kolosalitas. Film semacam Before Sunrise, Before Sunset (the best sequel movie eveeeerrr....!!! ) atau My Blueberry Nights. Datar, namun entah bagaimana, menggigit. Tidak penuh adegan romantis gemebyar bunga bintang bertaburan, namun membuat hati hangat. Tidak menghasilkan sedu-sedan seperti saat menonton Les Miserables, hanya berkaca-kaca saja, namun nelangsanya membekas berhari-hari.
Dengan segala kesubtilan dan kedatarannya, film ini menyentuh saya. Ah, mungkin juga, saya hanya seseorang yang agak lebay.
Apa yang menarik bagi saya dari
film ini ? Ceritanya ! Tentang Theodore Towmbly, seorang yang berprofesi sebagai penulis surat.
Ya, penulis surat. Surat dari orang tua ke anak atau dari sepasang
kekasih. Surat-surat indah, yang telah memberi warna pada relasi
para kliennya dengan orang-orang tercinta. Ironisnya, Theo sendiri
lebih banyak berinteraksi dengan komputer.
Pulang ke rumah, ia bermain dengan komputer 3D interaktif. Sebelum
tidur, ia masuk ke berbagai chat room. Hidupnya selalu riuh, dengan sepi yang
menganga.
Sampai suatu saat ia menjadi
pelanggan sebuah Operating System (OS) yang sangat pintar, yang dikembangkan
berdasarkan kepribadian jutaan manusia. OS yang dapat diajak berkomunikasi. OS
yang juga dapat berevolusi. Semacam makhluk hidup digital. And there he goes. Dari seorang yang kesepian, Theo kini memiliki
teman bicara yang bisa ia aktifkan selama 24 jam. Teman yang bisa diajak
ngobrol tentang apa saja, mengerti
tentang apa saja, punya selera humor yang cerdas dan pandangan-pandangan yang
unik tentang dunia ini. Dan juga punya nama. Samantha.
Lalu mereka pun saling jatuh
cinta. Merasakan kegairahan, melakukan
kegilaan-kegilaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang mabuk asmara. Mengalami
cemburu. Patah hati. Semua ini terjadi dalam hubungan antara seorang manusia dengan
sebuah (seorang ?) OS.
Absurd...absurd...absurd....! Keren...keren...keren !
Film ini mengingatkan saya pada
pengalaman menonton film Truman Show. Anda ingat film itu ? Dibintangi oleh Jim
Carey, ia bercerita tentang seseorang yang setelah bertahun-tahun baru menyadari bahwa hidupnya merupakan bahan
reality show. Dengan kehadiran
berbagai kamera tersembunyi, apa pun yang ia lakukan menjadi tontonan bagi
jutaan orang.
Tentu saja kedua film ini beda
genre. Namun dalam aspek pengalaman saya, ada satu kesamaan yang terjadi. Saat menonton
film The Truman Show, saya berpikir, mungkin saja hal itu akan terjadi suatu
saat di masa depan. Ternyata benar,
bahkan lebih hebat daripada yang saya bayangkan. Hidup keseharian manusia
menjadi sebuah tontonan reality show.
Bukan lewat siaran televisi, namun media-sosial. Mulai dari teri kacang yang menjadi menu
sarapan di rumah, ramen sebagai makan siang di kantor, kekesalan tentang pekerjaan,
foto liburan, galau akibat urusan percintaan, kini menjadi konsumsi
publik. Sumpah-serapah, keluhan, atau
rayuan terhadap pasangan yang dulu disimpan rapat dalam dinding-dinding privat,
kini terpampang di lini masa. Di hadapan ratusan atau bahkan ribuan rekan di media-sosial.
Segala hal yang tadinya remeh-temeh,
menjadi kelihatan penting untuk dibagikan.
Selama beberapa waktu ini, Facebook
menambahkan fitur baru yaitu unsur ‘feeling’.
Para pengguna memberi kesempatan pada Facebook untuk menamai berbagai perasaan
yang mereka alami. Facebook pun memberi kesempatan bagi para penggunanya untuk memulai
kebiasaan baru, mengabarkan kepada seluruh teman di dunia mayanya bahwa dia
sedang ‘feeling annoyed’, atau ‘feeling loved’ , atau ‘feeling sick’. Reality
show. Bahkan mungkin, hyper-reality
show.
Sebagaimana saat menonton Truman
Show, selama menonton film Her, saya tidak bisa tidak berpikir bahwa apa yang digambarkan
mungkin saja akan terjadi. Di sana ditampilkan bagaimana orang lalu lalang,
berjalan sambil kelihatan bicara sendiri. Mereka tidak bicara sendirian, namun
dengan OS-nya masing-masing. Bukankah kondisi saat ini pun sudah nyaris seperti
itu ? Di dalam keramaian, kita sibuk
dengan OS kita, yang saat ini masih berbentuk sebagai smartphone dan
menampilkan media-sosial. Secara tidak sadar, kita mulai terikat dengan
perangkat digital kita. Merasa
menyayangi orang-orang yang tersimpan di dalamnya.
Ah, sungguhkah kita memerlukan
semua itu ? Apakah kehidupan bersama dengan perangkat digital dalam dunia reality show ini membuat kita menjadi
lebih handal dalam berelasi dengan sesama manusia ? Menjadi lebih empati ? Atau
malah menjadi dingin saja, karena kesusahan atau kegembiraan seseorang hanya
menjadi satu di antara sekian ratus kejadian yang terpampang di lini masa kita
? Apakah dengan mengabarkan perasaan
kepada dunia, kita menjadi orang yang lebih mampu merasa ? Mempunya perasaan yang nyata, baik terhadap
diri kita maupun terhadap orang lain ? Apakah kita mampu menyadari batas antara
maya dan nyata ? Apa maya ? Apa nyata ?
Saat dunia ini menjadi semakin
luas, manusia bisa menjadi semakin kecil. Di saat dunia maya memberi ruang
untuk berelasi dengan ribuan orang,
kebutuhan untuk berelasi secara akrab dengan orang terdekat tidak akan
pernah hilang. Namun, saat dunia maya
dijadikan sebagai dunia realita, ke sana pula lah orang akan mencari kehangatan
sebuah hubungan. Seperti yang dilakukan oleh Theodore. Padahal yang maya, tidak
akan pernah menjadi nyata.
Siapa tahu, suatu saat nanti akan
ada masa di mana manusia sudah tidak tahu bagaimana cara berelasi secara intim
dengan manusia nyata . Merasa lebih nyaman dengan perangkat digitalnya, karena
manusia digital terasa lebih nyata.
Siapa tahu, saat itu akan tiba.
Manusia memiliki kekasih sebuah OS. Sebuah drakula digital, yang tidak bisa
mati.
Dan saat masa itu tiba, semoga saya
lah yang sudah mati....
Tebet, 23 Maret 2014
Untuk : Whani Darmawan. Yang nyata.
Comments
Post a Comment