17 Tahun – Catatan 1
17 tahun. T u j u h b e l a
s t a h u n. Bukan usia saya, tentu saja.
Baru saja saya menyadari bahwa sedemikianlah
usia perjalanan saya dalam menjalani profesi sebagai seorang trainer. Lama juga ya! Kesadaran ini ternyata
menggigit. Sudah lebih dari separuh usia saya menjalankan profesi ini.
Dalam keterangan tentang blog
ini, saya menuliskan : Sebagaimana pensieve bagi Dumbledore, demikianlah catatan
ini bagi saya. Para penikmat Harry Potter tentu sangat kenal dengan pensieve.
Sebuah baskom tempat Dumbledore menaruh berbagai kenangannya. Untuk kemudian ia
amati kembali pola-polanya.
Dan saat ini saya pun ingin
menggunakan pensieve itu.
Proses sejak saat saya menjadi
seorang trainer adalah sebuah
perjalanan panjang yang seru. Saya pikir, saya beruntung, karena hidup
memberikan suatu kesempatan bagi saya untuk mengalami proses pengembangan
profesi yang jauh dari istilah instan. Thn 1996, bulan Oktober, adalah awal saya
memasuki dunia ini. Saat itu saya masuk ke dalam sebuah perusahaan yang
bergerak dalam bidang pelatihan dan konsultansi servis.
Tidak seperti sekarang di mana
seseorang dapat disahkan untuk menjadi trainer
hanya dengan pelatihan selama 3 hari, saya mengalami minggu demi minggu
menjalani train-the-trainer yang, oh my God, sangat melelahkan. Mengalami
serangkaian latihan yang mirip seperti sidang skripsi, dengan para senior sebagai
dosen pengujinya dan saya sebagai mahasiswa blo’on yang plonga-plongo saat
logika berpikir saya dibolak-balik, terutama oleh direktur saya yang juga
terjun langsung dalam melatih trainer
baru.
Apakah setelah itu saya langsung
boleh mengajar? Belum, saudara-saudara! Pertama-tama, saya mulai dari menjadi ‘third-trainer, atau trainer
ke-tiga. Secara sederhana, ini artinya ‘cungpret’ alias kacung-kampretnya trainer. Tugas saya membantu menyiapkan
properti dan mencatat saja saat trainer
yang lebih senior mengajar. Baru kemudian proses ‘kenaikan kelas’ berjalan.
Saya boleh mengajar sesi-sesi yang relatif mudah, lalu mengajar sesi-sesi yang
sulit sepanjang ada tandem, lalu dikirim untuk menjalani train-the-trainer lagi di Singapore.
Selama proses ini, setiap kali
diberi kesempatan untuk mengajar, selalu ada pengamatan dari trainer yang lebih senior. Penampilan
saya dievaluasi. Gerak-gerik, kalimat, kedalaman konsep, sistematika
penjelasan, bahkan joke yang saya
lontarkan, akan dibahas. Jadi, jika
biasanya orang gugup saat kelas akan dimulai, saya gugup saat kelas akan
berakhir. Karena saat itulah, persidangan dimulai J. Saya ingat sekali salah satu
candaan garing di antara saya dan rekan-rekan yang masih baru adalah: kita ini cari duit kok stres amat ya..
Dan akhirnya, saya pun boleh menyelenggarakan kelas secara
solo. Seingat saya, di tahun ke-dua. And let me tell you, my friends. Saat
pertama kali melihat nama saya tertera di jadwal hanya sendiri tanpa ada tandem
sama sekali, rasanya ‘ngeri-ngeri sedap!’ Takut, tapi senangnya bukan main!
Tentu saja mengajar sendiri lebih melelahkan. Tapi perasaan ‘berhasil naik
kelas’, mengalahkan kekuatiran akan rasa capek.
Lalu seiring dengan meningkatnya
jam terbang mengajar, saya pun mendapatkan kesempatan untuk juga menjalankan
berbagai peran lain terkait dengan dunia pelatihan. Menjadi trainer
bagi para trainer baru, menjadi bagian dari tim yang mengevaluasi kinerja
trainer, membuat disain program, plus
menjadi account manager bagi para
klien yang menggunakan jasa pelatihan dan konsultasi kami. Hulu ke hilir, hilir
ke hulu.
Aktor atau Pemain ?
Saat di usia ke 17 ini (duh, penting banget ya ‘ni usia!) saya mengingat-ingat kembali sulitnya perjalanan untuk menyandang ‘gelar’ sebagai seorang trainer sesuai standar perusahaan saya yang dulu, muncullah pertanyaan di benak saya : Kenapa ya harus susah amat ? Apa sih nilai tambah yang diberikan oleh proses itu pada perkembangan diri saya ?
Lalu sebuah ingatan lain hadir.
Saya sering berdiskusi dengan
sahabat saya, seorang aktor. Walaupun kelihatannya dunia kami jauh sekali berbeda,
namun dalam banyak hal esensinya sama saja. Kami sama-sama tampil di hadapan penonton,
sama-sama harus meninggalkan kesan setelah penonton keluar dari ruangan.
Naskahnya adalah naskah drama, naskah saya adalah materi pelatihan.
Saat membagikan pengetahuannya
tentang dunia seni-peran, ia melontarkan sebuah pernyataan yang menarik. Ia katakan
bahwa tidak semua orang yang tampil di panggung itu dapat dikatakan sebagai aktor.
Ada yang sesungguhnya hanyalah ‘pemain’
saja. Bukan aktor.
Bedanya di mana? Seorang aktor
adalah orang yang memainkan perannya dengan jiwa. Masuk ke dalam karakter yang
akan dimainkan, berproses untuk mengambil-alih karakter tersebut menjadi bagian
dari dirinya sendiri, secara sadar mengelola fisik dan mentalnya untuk dapat
melakukan perannya dengan sempurna. Seorang
‘pemain’ , ya bermain saja. Membaca naskah, mengira-ngira, tampil, selesai. Seorang
aktor terus berproses, seorang pemain cepat merasa selesai.
Mengingat percakapan tersebut,
saya menyadari satu hal : proses yang saja jalani dengan berlelah-lelah dulu itu
mempersiapkan saya untuk menjadi trainer dengan kategori ‘aktor’. Bukan hanya ‘pemain’.
Proses itu mengajarkan saya untuk
melakukan persiapan secara detil, memahami ‘naskah’ saya dan melatihnya berulang-ulang
agar bisa membawakannya dengan baik. Melakukan eksplorasi dengan membaca
berbagai literatur sebelum tampil. Menguasai panggung. Mengolah sisi dalam agar
dapat menampilkannya ke luar secara jujur. Dan yang terpenting, mengajarkan bahwa
tidak pernah ada kata selesai dalam berproses.
Singkatnya, mengajarkan saya
untuk menjalankan profesi ini dengan jiwa.
Inilah rupanya yang membuat saya, si orang yang cepat bosan ini,
dapat secara ajeg menjalankannya selama 17 tahun.
So, with a delightful smile, I can now say: Happy sweet seventeen to
me! It is sweet, indeed!
Very inspiring indeed.
ReplyDeleteJadi berpikir kembali apakah saya sekedar menjadi pemain atau sudah menjadi aktor dan apakah saya sudah membantu mengembangkan aktor-aktor di kantor tercinta ini (ck..ck.. kantor tercinta..).
Ahahahahhahahahah........ sedaaaaaap ! Ada tertulis: cintailah kantormu seperti engkau mencintai dirimu sendiri, hihihihihihi...
ReplyDelete