Posts

Showing posts from 2013

Ah, Jakarta !

Image
Seperti biasa, di akhir tahun,   saya menjadi agak lebih banyak bermenung-menung.   Dan kali ini, bahan permenungan saya muncul dari kalimat Seno Gumira Ajidarma yang diunggah oleh seorang rekan di media-sosial.  Unggahan ini mengingatkan saya pada pertunjukan berjudul End Game. Suatu drama absurd karya Samuel Beckett yang tokoh sentralnya adalah Hamm (si tuan) dan Clov (si hamba) yang seolah terikat oleh takdir untuk selalu bersama dalam sebuah kehidupan yang repetitif dan menjemukan. Ingin pergi, namun tidak bisa. Benci setengah mati, tapi tetap di situ saja.  Lalu saya pun teringat akan suatu hubungan yang saya jalani. Yang sama absurdnya. Antara saya dan Jakarta.  Sakitnya Jakarta, Sakitnya Saya Jika diibaratkan manusia, Jakarta adalah orang yang menderita obesitas dengan perilaku hidup tidak sehat. Tubuhnya terlampau gemuk berisi manusia, mobil, motor, yang semuanya menghasilkan kotoran.   Asap di paru-paru,   sampah di usus, saluran darah yang meng

Guardian Angels Do Exist

Image
Perjalanan menziarahi diri. Tulisan Maria Hartiningsih di Kompas Minggu kemarin sungguh mencerahkan Minggu saya. Bercerita tentang para peziarah yang menjalani rute perbatasan Perancis-Spanyol menuju Santiago de Compostela. Mereka berjalan ratusan kilo, berhari-hari, berminggu-minggu dengan membawa barang seadanya, tidur di tempat yang seketemunya, makan apa yang ada, berkawan dengan orang asing sesama peziarah. Ada yang berjalan karena sebuah kaul. Ada yang berjalan karena ingin menyembuhkan luka batin. Ada pula yang berjalan karena memang ingin tahu saja. Namun semuanya sama, berjalan dalam keheningan. Berjalan dalam damai. Sama-sama peziarah. Sesama manusia. Tulisan ini mengingatkan saya akan pengalaman saya sendiri dalam perjalanan-perjalanan soliter saya. Walaupun tidak sering, beberapa kali saya melakukan perjalanan soliter, sejak belasan tahun lalu. Keliling Jakarta, berwisata angkot di Bandung, perjalanan impulsif di Yogya, Bali, Singapore. Dan ya

17 Tahun – Catatan 2

Meneruskan pensieve    Di catatan 1 saya telah menuliskan ribetnya saat dulu ingin bisa sah menjadi trainer. Berhubung pensieve saya belum penuh, maka selama tahun ini belum berakhir, saya akan menumpahkan lagi beberapa catatan sweet-seventeen ini.  Ada begitu banyak ‘how-to’ untuk menjadi seorang trainer . Jika mengacu pada The International Board of Standard for Training, Performance and Instruction (IBSTPI) ada 17 kompetensi yang diperlukan agar seseorang dapat dikatakan sebagai seorang trainer yang profesional.   And let me tell you, my friends, those 17 competencies are very far from easy .  Saya tidak ingin lagi menambahkan daftar kompetensi tersebut. Nanti ada yang merasa langsung ingin pensiun sebelum memulai menjadi seorang trainer. Yang ingin saya bagikan adalah beberapa hal yang perlu juga diingat untuk dapat menjalankan peran sebagai trainer , dengan gembira.   It’s not about you. It’s about them Saat melatih para trainer , seringkali pese

17 Tahun – Catatan 1

Image
 17 tahun. T u j u h b e l a s    t a h u n.   Bukan usia saya, tentu saja.  Baru saja saya menyadari bahwa sedemikianlah usia perjalanan saya dalam menjalani profesi sebagai   seorang trainer .   Lama juga ya! Kesadaran ini ternyata menggigit. Sudah lebih dari separuh usia saya menjalankan profesi ini.  Dalam keterangan tentang blog ini, saya menuliskan : Sebagaimana pensieve bagi Dumbledore, demikianlah catatan ini bagi saya. Para penikmat Harry Potter tentu sangat kenal dengan pensieve. Sebuah baskom tempat Dumbledore menaruh berbagai kenangannya. Untuk kemudian ia amati kembali pola-polanya.  Dan saat ini saya pun ingin menggunakan pensieve itu. Perjalanan Yang Seru  Proses sejak saat saya menjadi seorang trainer adalah sebuah perjalanan panjang yang seru. Saya pikir, saya beruntung, karena hidup memberikan suatu kesempatan bagi saya untuk mengalami proses pengembangan profesi yang jauh dari istilah instan. Thn 1996, bulan Oktober, adalah awal saya memasu

Akhirnya saya menulis blog

Setelah bertahun-tahun menjadikan menulis note di FB sebagai salah satu obat waras, akhirnya saya memutuskan untuk memindahkan tulisan-tulisan itu dalam sebuah blog. Mengapa ? Tidak jelas. Ingin saja melakukan sesuatu yang baru. Bahwa rekan-rekan yang sering berkomentar di tulisan saya masih lebih suka membuka FB daripada berselancar di blog, ya tidak apa-apa. Bahwa ada kemungkinan tulisan-tulisan saya malah tidak ada yang baca, ya tidak apa-apa juga. Toh sejak awal saya sudah mengatakan bahwa bagi saya menulis merupakan salah satu obat waras.  Bahwa akan ada yang suka dan tidak suka, atau tulisan saya dirundung (di-bully), ya tidak apa-apa juga. Bagus kan jika ada orang yang mau repot-repot meluangkan waktu untuk menulis tanggapan. Karena hidup itu serius, tapi tidak serius-serius amat lah.... Dan atas premis itu, saya pun menulis blog.  Omahkebon, 22 Nov 2014.