Susahnya Belajar Bahasa Indonesia


Beberapa waktu lalu saya dimintai bantuan oleh seorang sahabat untuk membaca draf buku terbarunya dan memberi masukan dalam aspek ejaan. Mengapa saya yang ia mintai tolong? Alasan terutama dan satu-satunya adalah: saya sering bawel. Jika ia mengatakan  atau menulis, “Aku ingin merubah…” maka otomatis saya koreksi, “Mengubah. Kalau merubah itu artinya menjadi rubah.” Jika ia bilang, “Sudah terlanjur..,” maka saya akan katakan, “Telanjur, bukan terlanjur. Sama dengan telantar, bukan terlantar dan telentang bukan terlentang.”

Saya menerima permintaan itu karena saya pikir urusan ejaan ini tidak akan terlalu sulit. Hanya perlu sedikit keteguhan hati untuk bersikap teliti. 

Ternyata saya salah besar, Saudara-Saudara! Permintaan ini jauh dari mudah. Bahkan mampu membuat kepala saya berasap seperti habis nonton siaran televisi dengan inisial ILC 

Saya ingat saat sekolah dulu saya belajar bahwa ejaan pertama yang dikenal di Indonesia adalah Ejaan Van Ophuijsen (dan guru bahasa Indonesia yang mengucapkan ‘Van Opheeeyyysen’ dengan penekanan kata yang amat Belanda). Ejaan ini kemudian diikuti oleh ejaan-ejaan lain sampai pada tahun 1972 lahirlah EYD alias Ejaan Yang Disempurnakan. Saya pikir, seharusnya EYD diganti namanya dengan EYATDSK alias Ejaan Yang Akan Terus Disempurnakan Sampai Kiamat karena sampai tahun 2009 masih lahir keputusan menteri terbaru tentang EYD. Dan sungguh, pembaruan-pembaruan ini memusingkan kepala saya. Tujuh keliling. Kali dua. Yang satu keliling sesuai arah jarum jam dan kemudian sebaliknya. 

Berikut ini adalah contoh beberapa peraturan yang membuat saya keleyengan :

- Partikel ‘pun’ ditulis terpisah dengan kata dasarnya. Tapi ada 12 kata yang ‘sudah lazim dianggap padu benar’ harus ditulis menyambung dengan partikel ‘pun’ (bagaimanapun, maupun, dll.). Tidak ada pola khusus. Mau tak mau, saya harus mencatat 12 kata yang ‘sudah lazim dianggap padu benar’ itu, agar tidak salah memperlakukan partikel ‘pun’ yang mengikutinya. Apa sebenarnya standar ‘kelaziman’ itu ? Bingung saya…

- Huruf awalan ‘p’ melebur jika diberi imbuhan ‘me’. Kita sudah tahu bahwa kata me+paku = memaku. Prinsip ini dibuat menjadi lebih konsisten sehingga me+peduli = memedulikan. Bukan ‘mempedulikan’ seperti yang selama ini sering kita ucapkan. Tapi aturan ini tidak berlaku untuk kata turunan, yaitu kata dasar yang sudah mendapat imbuhan. Dengan demikian, kata me + peroleh = memperoleh, bukan memeroleh. Maaaak, bisa setengah mati kita menganalisis terlebih dulu apakah suatu kata merupakan kata dasar atau turunan untuk menentukan huruf ‘p’nya lebur atau tidak. Saat berbincang dengan rekan yang sering berurusan dengan dunia tulis-menulis, kami pun jadi bingang-bingung sendiri : Eh, ‘perhatian’ itu kata dasar bukan ya? Bukan! Kata dasarnya ‘hati’! Kalau ‘peroleh’ kata dasarnya ‘oleh’ ya? Kok lucu… 

- Penulisan kata serapan. Ini yang paling seru dan membuat saya banyak berpikir ulang tentang kata-kata yang sudah biasa saya pakai sehari-hari. Salah satu peraturannya adalah kata serapan dari bahasa Inggris ditulis dengan mengikuti penulisan kata aslinya dan disesuaikan dengan kaidah tata bahasa Indonesia. Jadi, yang benar adalah ‘risiko’ bukan ‘resiko’ karena kata aslinya adalah ‘risk,’ ‘praktik’ dan bukan ‘praktek’ karena diserap dari  kata ‘practice,’ ‘teoretis’ dan bukan ‘teoritis’ karena diserap dari ‘theoretical,’ ‘desain’ dan bukan ‘disain’ karena diserap dari kata ‘design.’ Hmmmm…… saran saya, supaya dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD, Anda harus kursus bahasa Inggris dulu! Ah, tapi masih untunglah tak ada klausul tambahan: kecuali untuk kata-kata yang sudah dianggap lazim.

- Gabungan kata. Dikatakan bahwa gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk ditulis terpisah. Namun, gabungan kata yang sudah ‘dirasakan padu benar’ ditulis serangkai. Lalu terpaparlah puluhan kata yang sudah ‘dirasakan padu benar’ itu tadi. Contohnya: : halalbihalal, saptamarga, radioaktif. Lagi-lagi, tanpa pola. Hanya karena ‘sudah dirasakan’. Jika aturan sebelumnya ada aturan berdasar 'dianggap sudah lazim' maka kini berdasarkan 'perasaan'. Aturan perbahasaan formal dibuat berdasarkan ‘dirasa-rasa.’ Okesip ! 

Jika kemudian ada artikel yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa tersulit ke-3 di Asia, saya akan mengamininya (walaupun saya belum belajar dua bahasa lainnya, sih). Sudahlah demikian, sosialisasi bahasa Indonesia yang baku ini juga masih kurang sekali. Lihat saja berapa banyak orang yang masih menggunakan kata ‘merubah’ padahal sudah bertahun-tahun lalu kata ini diubah. Dulu saya pernah menulis dalam medsos saya, lagu Saat Bahagia-nya Ungu feat. Andien yang sedang populer pun masih salah menggunakan kata ‘merubah’ dan ‘terlanjur.’ Membaca buku Raditya Dika yang dalam kurun waktu 1 tahun sudah 4 kali dicetak alias laris banget dan dibaca jutaan orang, tetap saja ada kata ‘terlentang.’

Semua kepusingan ini membuat saya akhirnya membeli buku teraneh yang saya beli dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini : Buku Pintar EYD, Bahasa dan Sastra Indonesia. Membuka-buka dan menyimaknya, saya jadi mengingat dalam buku Outliers, Malcolm Gladwell mengatakan bahwa salah satu sebab anak Cina-Jepang-Korea lebih mudah belajar matematika adalah karena bahasa mereka sangat logis dan terstruktur. Sebelas adalah sepuluh-satu. Dua puluh empat adalah dua-sepuluh-empat. Saya jadi terkekeh-kekeh sendiri mengingat apa yang baru saya alami dengan bahasa Indonesia. 

Geli setengah frustasi. Doa saya, mudah-mudahan sebuah bahasa dengan peraturan yang banyak pengecualian, sering berdasar ‘yang dirasa’ tanpa pola yang jelas, tidak akan membuat anak Indonesia sulit belajar apapun.

Eh, apa pun. Eh, apapun. Ah, sukak sukak kau lah ! 

Tapi saya tetap cinta bahasa Indonesia dan ingin mempelajarinya secara benar. Kecuali, jika suatu saat nanti saya sudah frustasi,mungkin saya akan belajar bahasa Klingon saja.

Atau pakai bAhaSa 4l4y. Soalnya, bAh45A InD0n35iA i7U 5u54h, GiL4kkkkk!


Comments

Popular posts from this blog

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Menyoal Pertimbangan Moral - 1