Membaca Tipping Point, Merenungi Kota


Tipping Point, Kisah Tentang Epidemi

Mengapa sepatu Hush Puppies yang tadinya sudah sekarat tiba-tiba menjadi hits di kalangan anak muda penggandrung mode di Amerika ? Bagaimana kejahatan di New York menurun secara drastis hanya dengan tindakan menghapus grafitti ? Apa persamaan fenomena bunuh diri di Mikronesia dengan merebaknya kebiasaan merokok di kalangan remaja ? Bagaimana Sesame Street dapat begitu digemari oleh anak pra-sekolah dan kemudian digantikan tempatnya oleh Blue’s Cues ? 

Buku Tipping Point, karangan Malcolm Gladwell, menyajikan serangkaian hasil penelitian yang (bisa jadi) menjawab berbagai fenomena menarik ini. Tipping Point sendiri secara harafiah bermakna titik puncak. Buku ini berbicara mengenai bagaimana suatu gagasan, produk, perilaku dapat mencapai  ‘tipping point’, seolah berepidemi, seperti mewabah. Dengan berbagai riset yang disajikan, buku ini memberi alternatif jawaban bagi dua pertanyaan penting yaitu : 1) Mengapa ada gagasan atau perilaku yang berepidemi sedangkan yang lain tidak ? ; 2) Apa yang dapat kita perbuat agar dapat dengan sengaja memulai dan mengendalikan epidemi positif ciptaan kita sendiri ? (halaman 15).  Fokus dari buku ini, seperti tertulis pada sub-judul di sampul bukunya, adalah Bagaimana Hal-Hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar. 

Malcolm Gladwell menyimpulkan bahwa terdapat tiga unsur yang dapat menciptakan tipping point. 1). Hukum Tentang Yang Sedikit, yang dimaknai sebagai hadirnya beberapa orang yang berperan sebagai Konektor, Sang Bijak, Penjaja; 2). Faktor Kelekatan yang berbicara tentang pesan-pesan yang melekat di benak target; 3). Kekuatan Konteks, tentang betapa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh konteks tempat ia hidup, sehingga untuk menyebarkan atau malah menghalangi perilaku tertentu maka yang diperlukan adalah menciptakan suatu konteks yang tepat. 

The Broken Windows 

Salah satu bagian yang sangat menarik bagi saya dari buku ini adalah teori yang dinamakan sebagai Broken Windows, dalam bagian Kekuatan Konteks. Teori yang digagas oleh James Q Wilson dan George Kelling, para ahli kriminologi, menyatakan bahwa kriminalitas merupakan akibat dari ketidakteraturan (halaman 176). Teori ini dinamakan sebagai Broken Windows untuk menggambarkan bahwa jika pada suatu rumah satu jendelanya pecah dan dibiarkan saja, maka rumah itu akan dianggap tidak berpenghuni. Dan tak lama kemudian terjadilah perusakan-perusakan di area rumah tersebut. Dengan kata lain, sebuah pembiaran kecil terhadap perilaku negatif akan berdampak pada munculnya perilaku negatif lain yang lebih serius. 

Teori ini memberi landasan pemahaman bagi sebuah fenomena penurunan tingkat kejahatan di kereta bawah tanah di New York pada pertengahan tahun 1980-an sampai pertengahan 1990. Dalam 1 dasawarsa, kejahatan dalam kereta api bawah tanah turun hingga 75%. Apa yang dilakukan ? Hal-hal kecil. Direktur baru menjalankan gerakan perang terhadap grafiti. Bukan menangkapi para pelaku grafiti, namun membersihkan kembali setiap tembok, gerbong, yang dicoret-coret. Setiap kali ada grafiti baru, setiap kali juga grafiti tersebut langsung dibersihkan kembali. Setiap kali, selama 6 tahun. Kepala polisi kereta bawah tanah pun melakukan tindakan penertiban terhadap orang-orang yang naik KA tanpa bayar. Walaupun membuat pekerjaan polisi menjadi tambah banyak, dan sempat diprotes karena terasa seperti melakukan pekerjaan remeh-temeh, namun ternyata hasilnya signifikan. Kedua tindakan ini dilakukan untuk memberi pesan yang jelas bahwa tidak ada toleransi terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil. Kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh, yang lazimnya dianggap tidak signifikan, kata mereka, sesungguhnya merupakan Tipping Point menuju kejahatan-kejahatan besar (halaman 183). Dan untuk mengurangi mewabahnya kejahatan besar, maka hal yang dilakukan adalah memberantas kejahatan-kejahatan kecil. 

Saat Bratton, kepala polisi kereta bawah tanah itu, diangkat menjadi kepala polisi New York City, maka ia pun melakukan hal yang sama. Preman-preman yang minta uang dari jasa membersihkan kaca mobil, orang yang buang air kecil di tempat umum, merusak benda milik orang lain, bisa masuk penjara. Dan hasilnya ? Secara keseluruhan, tingkat kejahatan di New York City pun menurun drastis. 

Merenungi Kota 

Saya pun jadi teringat pada kejadian yang pernah saya alami. 

Tanggal 20 Oktober 2014, saya berada di di tengah-tengah manusia yang berjalan dari Monas menuju Sarinah Thamrin usai menghadiri pesta rakyat pelantikan presiden baru. Di sebuah lampu lalu lintas, saya berhenti, karena tanda dilarang menyeberang masih menyala. Di sana ada seorang polisi. Beberapa detik setelah saya datanglah serombongan orang, yang tanpa peduli pada polisi, langsung menyeberang sambil ngobrol dan tertawa-tawa.  Saya pun bertanya pada Pak Polisi mengapa orang-orang tersebut tidak dilarang. Jawaban Pak Polisi tak kalah santainya dengan para penerobos tadi. “Susah ngebilanginnya, Mbak. Apalagi kalau ramai-ramai begitu,” ujarnya.

Ah, memang tak sulit untuk mengingat betapa banyaknya pelanggaran-pelanggaran kecil yang dibiarkan saja oleh pihak yang berwenang di Jakarta ini. Tak sulit pula untuk melihat betapa kota ini adalah kota yang penuh dengan ketidakteraturan. Para pembersih kaca mobil dadakan yang muncul saat hujan, pengamen di angkutan umum yang meminta uang dengan nada mengancam, polisi cepek, calo tiket dan taksi gelap di bandara, orang buang sampah sembarangan, merokok di tempat bertanda dilarang merokok, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. 

Sama halnya dengan kota yang saya telah anggap sebagai kota kedua saya. Yogyakarta. Kota yang selalu memesona karena nilai-nilai tradisi yang masih ditampilkan. Kota yang juga penuh dengan baliho dan banner, serta corat-coret yang merajalela. Tembok rumah, gedung, tembok kota, pintu kayu, railling door, kotak hidran. Corat-coret, di sana-sini. Pembiaran, di sana-sini.   

Apa yang akan terjadi jika para pelaku vandal diberi panggung untuk berlaku seenaknya ? Pelaku kejahatan jenis lain pun akan mencoba ‘memecahkan kaca’ lain. Yang pada akhirnya juga dibiarkan saja, mungkin dengan alasan seperti yang dikatakan oleh Pak Polisi di Thamrin : “Susah ngebilanginnya, Mbak." 

Mengacu pada premis bahwa pelanggaran-pelanggaran kecil merupakan tipping point bagi kejahatan besar, maka tak heran jika Jakarta pun dinobatkan sebagai kota paling tidak aman berdasarkan riset The Economist Intelligence Unit yang dilansir akhir bulan Januari lalu http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/28/114804026/Jakarta.Paling.Tidak.Aman.di.Antara.50.Kota.Besar.Dunia

Dan kota teraman ? Tentu saja Tokyo dan Singapore menempati urutan dua teratas. Saya berkali-kali mengalami Singapore. Kota yang tertibnya ‘amit-amit’ sehingga kadang terasa membosankan. Fine city, atau kota denda, yang bahkan memberikan denda untuk tindakan berjualan permen karet. Jika (maaf) kentut di tempat umum mudah terdeteksi pelakunya, mungkin saja akan ada denda untuk tindakan buang angin sembarangan. 

Benar bahwa pendapatan per kapita di kedua kota tersebut tinggi, rakyatnya lebih makmur dibanding Jakarta maupun Yogya sehingga tidak banyak alasan untuk berbuat kriminal.  Namun di pihak lain, kita juga dapat melihat bahwa dengan ditertibkannya masyarakat,  para kriminal pun akhirnya seolah kehilangan panggung untuk berbuat jahat. Tak ada jendela pecah (broken windows) yang dapat mendorong mereka untuk memecahkan jendela lain atau merusak pintu. 

Menangani berbagai ketidaktertiban kecil memang tidak semudah di atas kertas. Namun saya rasa memang sangat genting untuk dilakukan. Jika 'polisi cepek' dibiarkan saja, tak heran jika para bajing pencuri kaca spion pun merasa mendapat tempat. Jika pengelola kota Yogyakarta membiarkan saja sekelompok pemuda mengendarai motor dengan suara memekakkan telinga sambil mengibar-ngibarkan bendera bersimbol agama tertentu, maka tak akan heran jika dalam waktu dekat, propinsi ini akan mengalahkan Jawa Barat, menjadi propinsi dengan tingkat kasus intoleransi tertinggi di Indonesia. Tak akan sulit, karena tahun 2014, ia sudah menjadi ‘juara 2’. 

Karena masyarakat akan membentuk kota, namun kota pun akan membentuk masyarakat. 



O m a h k e b o n
12 Februari 2015

Comments

Popular posts from this blog

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Menyoal Pertimbangan Moral - 1