Yogyakarta, Roseto Van Java



Roseto, kota Outlier

Saya sedang membaca kembali salah satu buku favorit saya, Outliers karangan Malcolm Gladwell. Buku yang sarat hasil riset menarik dan dikemas secara populer. 

Memang, saat membaca suatu buku berulang kali, kita seringkali mendapatkan suatu pemahaman yang baru kembali. Dan bagi saya, pemahaman itu saya dapatkan justru pada bagian pendahuluan buku ini.

Di sana Gladwell memaparkan kisah tentang sebuah kota kecil Pennsylvania, yang dihuni oleh para imigran dari Italia. Roseto. Pada tahun 1950-an, seorang dokter bernama Wolf terkejut menemukan fakta bahwa di kota Roseto jarang sekali ditemui orang di bawah usia 65 tahun yang mengidap penyakit jantung. Padahal saat itu di Amerika, penyakit jantung sudah merupakan epidemi dan menjadi penyebab utama kematian pria di bawah usia 65 tahun. Sementara di Roseto ? Orang-orang ini meninggal karena usianya sudah uzur. Itu saja  (halaman 6).Dokter Wolf kemudian melakukan penelitian, mengelaborasi berbagai faktor yang mungkin menyebabkan sehatnya orang-orang di Roseto. Pola makan sehat ? Tidak. Mereka banyak makan lemak. Yoga atau lari pagi ? Tidak juga. Atau mungkin genetik ? Kerabat mereka di Italia sana ternyata juga jantungan. Sesuatu tentang lokasi kota tersebut ? Di kota-kota terdekat yang lanskap dan cuacanya relatif mirip, statistik orang wafat akibat penyakit jantung ternyata 3 kali lipat dibanding Roseto.  Lalu apa sebabnya Roseto menjadi outlier


Outlier. Berbeda dari pengamatan statistik lainnya. 

Aha ! Ternyata, ada satu faktor yang tidak ditemui pada subyek-subyek lain yang diteliti sebagai perbandingan terhadap Roseto. Komunitas ! Ya, komunitas ! Roseto adalah kota di mana orang saling berkunjung, ngobrol-ngobrol, memasak untuk tetangga, berkegiatan di gereja. Juga merupakan daerah di mana satu rumah bisa dihuni oleh 3 generasi. 

Jika penyakit jantung merupakan penyakit ‘manusia modern’, maka struktur sosial di Roseto tercipta sedemikian kuat melindungi masyarakatnya dari tekanan dunia modern (halaman 9).

Saya tertawa membaca bagian ini, menengok kota tempat saya sering berdomisili akhir-akhir ini. Menyadari betapa faktor kunci yang disebutkan di atas sering saya temui di sini. Di Yogyakarta.  

Yogyakarta, The City of 'Monggo'


Yogya adalah kota di mana pagi-pagi di angkringan depan Gereja Pugeran, orang makan nasi kucing dan gorengan, ngopi-ngeteh, sambil ngobrol-ngobrol. Saya pernah menjadi pelaku, ikut serta dalam kemeriahan sarapan di sana sambil memperhatikan percakapan yang bergulir. Mulai dari keluhan terhadap pemerintah yang dilontarkan lewat candaan, perbincangan tentang Dana Istimewa, berita yang mereka baca di koran lokal. Terbiasa dengan pola Jakarta yang serba menderu, sempat terpikir di benak saya, ini orang-orang kapan kerjanya, ya ?  

Yogya juga adalah the city of ‘kulo nuwun’ dan ‘monggo’. Jika seorang teman mengeluhkan betapa dinginnya ekspresi orang-orang Singapore, tidak demikian dengan Yogya. Saat  melakukan kegiatan jalan pagi, saya selalu berpapasan dengan orang lain yang dalam jarak 5 meter sudah memasang senyum dan setelah dekat langsung menyapa : Monggooooooo.... Awalnya saya agak kaget dengan 'kesokakraban' ini. Namun tak bisa dipungkiri, saat menerima keramahan tersebut tanpa menilai, ada rasa hangat yang timbul dari kehadiran interaksi manusia yang tulus. Saya pun ngekek sendiri setelah akhirnya malah duluan menyapa ‘monggoooo....’  sambil memasang senyum dari jarak 10 meter. 

Ia adalah kota di mana teman saling bertandang ke rumah, tempat percakapan-percakapan bisa gayeng sampai lewat tengah malam.  Kota tempat banyak orang jenaka, yang menggunakan kata ‘asu’ sebagai sapaan akrab. 

Ia juga tempat di  mana saya berulang kali mengalami diberi oleh penjual makanan yang murah hati. Kerupuk yang tidak diperhitungkan oleh ibu penjual gudeg manggar di pinggir jalan.  Kacang kulit yang masuk kategori ‘ra sah’ (tidak usah) oleh bapak penjual di warung ikan. 

Tempat Manusia Berumur Panjang 


Seperti Roseto, Yogya adalah kota komunitas. Paling tidak, Yogya 
yang saya alami.  Oleh karena itu, tidak heran jika di sebuah artikel di National Geography  dinyatakan bahwa di Indonesia warga Yogyakarta lah yang paling panjang umur. Usia harapan hidup masyarakat di Yogyakarta adalah sekitar 74,2 tahun . Angka ini berada di atas usia harapan hidup nasional yang rata-rata adalah 71 tahun . Ya, saya paham, Yogyakarta yang dimaksudkan di sini mencakup seluruh area DIY termasuk Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan bukan hanya kota Yogya-nya saja. 


Di tahun 2014, Yogya menjadi kota peringkat ke-4 sebagai kota yang paling nyaman ditinggali. Ia berada di bawah Balikpapan, Solo dan Malang.  Memang ada 25 indikator yang terukur, seperti kemacetan, polusi udara, banyaknya daerah kumuh, dll. Hubungan antar penduduk hanya merupakan 1 indikator saja di antara indikator-indikator lainnya. Peringkat ini turun dibandingkan tahun 2011 saat Yogya menjadi kota terbaik.  Namun demikian, saya pikir mungkin saja faktor hubungan antar penduduknya masih tetap sangat kuat, sehingga usia penduduk di Yogya tetap paling panjang di antara kota-kota lainnya.


Memang terlalu serta merta jika saya menyimpulkan bahwa sama seperti Roseto, umur panjang di Yogyakarta ini diakibatkan oleh sistem dukungan sosial yang kuat. Perlu  ada penelitian yang ilmiah dan komprehensif jika ingin membuktikannya. Tulisan ini tentu saja tidak saya maksudkan untuk menjadi sebuah tulisan ilmiah, hanya sebuah kesan yang saya dapatkan dari kota ini. 


Yogya adalah suatu tempat di mana waktu dan usia lambat berhenti. Dan suatu kesadaran pun mampir. Pertanyaan-pertanyaan saya yang khas orang modern seperti ‘kapan kerjanya ini orang-orang’ atau ‘kapan kayanya ini penjual makanan’ pada akhirnya tunduk di bawah satu pertanyaan, apa sih doa yang paling sering dihaturkan bagi orang yang berulang tahun ? 


Semoga panjang umur.  Itu sudah.




Omahkebon, 5 November 2014

Referensi
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/02/di-indonesia-warga-yogyakarta-paling-panjang-umur
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/06/03/usia-harapan-hidup-indonesia-71-tahun
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/08/12/071700/Inilah.Tujuh.Kota.di.Indonesia.yang.Paling.Nyaman.Ditinggali

Comments

Popular posts from this blog

Negara Ababil, Negara Krisis Identitas -2

Berpuasa, Menjinakkan Otak Reptil

Menyoal Pertimbangan Moral - 1